Monday, June 20, 2011

In Between: Reality and Fantasy



Kemarin malam, terus kemarin-marinnya lagi, saya iseng browsing Wikipedia.org sebelum tidur, bagian in the news. Lewat artikel '2011 Syrian Uprising', saya jadi tahu kalau setelah Mesir, Tunisia, sekarang giliran Syria yang ngalamin pergolakan politik (ketahuan nggak pernah nonton berita). Orang-orang demo di mana-mana, nuntut perubahan.

Tapi di artikel itu ada yang lebih menarik buat saya dibanding tentang ribut-ributnya itu sendiri: sebuah blog.
Ciee mentang-mentang blogger....
Bukan, bukan gara-gara itu.

Mungkin kalian sudah tahu (atau jangan-jangan... emang cuma saya yang baru tahu),
judul blog itu 'A Gay Girl In Damascus'.

Judulnya saja sudah bikin penasaran kan.

Ya, blog ini isinya curhatan seorang wanita yang mengaku bernama Amina, kelahiran Amerika-Syria, lesbian, dan tinggal di Syria. Postingnya kebanyakan komentar tentang perjuangan Syria dalam mencapai kemerdekaan dilihat dari sudut pandang warga sipil, juga tentang kondisi sosial di sana. Apalagi dengan statusnya sebagai lesbian. Di negara yang nganut Islam konservatif. Bisa-bisa dihukum pancung.

Dan ya, blognya menarik perhatian banyak orang. Salah satu postingnya yang terkenal adalah 'My father, the hero'. Di sini Amina cerita tentang bagaimana sang ayah melindungi dia dari dua petugas keamanan yang mau nahan dia karena tulisan-tulisannya. Oh, bukan berniat nahan aja sebetulnya, tapi juga ngancem mau memperkosa. Tapi ayahnya, tanpa adu otot apalagi senjata, berhasil 'memukul' mundur dua orang itu.

Setelah posting itu, popularitas blog itu melonjak.
Orang-orang memuji keberanian Amina untuk terus bersuara lewat tulisan-tulisannya. Orang-orang merasakan perjuangannya. Orang-orang bersimpati untuknya. Dukungan datang dari berbagai penjuru, baik dari mereka yang peduli isu di Timur Tengah maupun dari kaum LGBT. Karena itu, mereka luar biasa cemas, bahkan marah, ketika tanggal 6 Juni, Amina dikabarkan telah diculik.

Pada 7 Juni, 10.000 orang terkumpul di gerakan 'The Free Amina Arraf' di Facebook dalam waktu semalam. Malah sampai ada seorang jurnalis sampai memohon keterlibatan pemerintah U.S. dalam pembebasan Amina Arraf.



"U.S. government should...use its power and influence to call for Arraf's release." - Andrew Belonsky, Brooklyn Journalist


Respon yang heboh.

Kamu kira itu puncaknya? Belum. Karena pada tanggal 8 Juni, ada seorang wanita Kroasia, Jelena Lecic, yang mengklaim bahwa foto diri Amina Arraf yang dipajang di blog dan diberitakan di media sebenarnya adalah foto dirinya....


Jeger.

Ya. Amina Arraf yang dicemaskan, dibela, dielu-elukan banyak orang, yang kisah hidupnya menjadi inspirasi banyak golongan, ternyata cuma HOAX. Tidak nyata. Karakter buatan.
Penulis asli blog itu adalah Tom MacMaster, warga negara Amerika, dan sama sekali bukan gay. Dia mengaku bahwa ia membuat karakter Amina supaya ia lebih bebas berkomentar dan berdiskusi tentang isu Timur Tengah, dan sama sekali tidak menyangka tokoh fiktifnya itu akan sefenomenal ini.

Plot penculikan Amina? MacMaster menulisnya supaya orang-orang tidak bingung atas absennya tulisan di blog itu selama dirinya berlibur ke Turki.

Brilian.

Saya tidak perlu cerita seberapa tidak senang dan kecewanya kaum LGBT, penduduk Syria, dan segenap pendukungnya atas fakta itu. Merasa tertipu.




"If [MacMaster] had not been so emotionally resonant, so detailed, so seemingly 'real,' nobody would have cared so much when Amina disappeared, and nobody would have worked so hard to figure out what might have happened to her, and nobody would have learned that she was a pale man from Georgia. Which meant that, at least according to a chilling and narrow definition of what it means to be real on the Internet, Tom MacMaster was very good indeed at being Amina." - Monica Hesse, Washington Post


Saya bukan termasuk mereka yang dikecewakan itu. Saya tahu tentang ini setelah Amina terbukti hoax. Jadinya saya cuma bisa kagum sama MacMaster, betapa tulisannya bisa mengecoh banyak orang.
Dan untuk yang kesekian kalinya saya mikir, betapa kuat pengaruh dari sebuah tulisan.

Entah kenapa MacMaster mutusin buat nulis ini di blog. Mungkin biar lebih nyata. Atau sekedar supaya bisa bertukar pendapat. Padahal kalau dia nulis di buku, saya rasa orang-orang nggak bakal semarah itu kalau tahu Amina nggak nyata. Dan lagi, penulis tetap saja bisa menipiskan batas nyata dan tidak.

Misalnya novel The Kite Runner, yang banyak nyinggung kondisi perang dan sosial di Afghanistan.

ini poster filmnya

Entah saya yang masih anak bawang, belum pernah baca novel sebagus itu, atau memang Khaled Hosseini yang kelewat jago, tapi dulu saya sempet mikir: tokoh Amir itu beneran ada nggak ya? Belakangan saya sadar itu fiktif, tapi konflik perang, datangnya Taliban, rendahnya status sosial perempuan di sana, itu fakta.

J. K. Rowling juga, menyelipkan fiksi di antara fakta, fakta di antara fiksi, peron 9 3/4 di antara peron 9 dan 10, membangun dunianya sendiri di atas dasar kepercayaan orang atas sesuatu yang diyakini telah ada: penyihir.



Meski kita tahu kalau sebagian besar cerita Harry Potter itu karangan belaka, rasanya kita ingin percaya kalau dunia itu benar-benar ada.


Mau ngaku sedikit...
Pembaca Harry Potter pasti tahu kalau setiap anak-anak yang punya bakat sihir pasti dikirimin surat saat mereka umur 11 tahun. Surat pemberitahuan bahwa mereka masuk Hogwarts, yang dianter burung hantu.
Nah...
Dulu menjelang saya ulang tahun yang ke-11, saya setengah ngarep beneran ada burung hantu yang mampir ke jendela rumah saya (ya, ketawa sesuka kalian). Setelah ulang tahun ke-12, harapan saya pupus.
Ternyata saya cuma Muggle biasa.

 Tapi, hei, ternyata saya nggak sendirian! Saya pernah baca tentang orang-orang yang berkali-kali mencoba menabrakkan diri ke tiang di antara peron 9 dan 10 di King's Cross, berharap bisa nembus ke peron 9 3/4, meskipun udah berkali-kali ditegur sama petugas stasiun. Sampai akhirnya betul-betul dipasang palang 'Platform 9 3/4' di tiang itu. Hahaha... Seenggaknya saya nggak sampai kayak gitu kan? Ya kan? Kan?




Menulis itu menciptakan fantasi, dan mempertipis batasnya dengan kenyataan.
Saya salut buat penulis yang bisa menarik pembacanya ke dalam dunia yang mereka ciptakan, membuat pembacanya percaya apa yang mereka tuliskan, mempengaruhi pembacanya dengan apa yang mereka pikirkan.

Saya mau jadi salah satunya.
Dan akan jadi salah satunya (AMIN!)






- Kronologi lengkap 'A Gay Girl In Damascus' versi wikipedia: ini
- Berhubung 'A Gay Girl In Damascus' udah ditutup, bagi yang penasaran sama posting 'My Father, The Hero', bisa lihat salinan postingannya di sini :) 



image source image source image source

6 comments:

  1. Tau gak, apa kelebihan muggle dibanding penyihir? Muggle bisa punya blog, penyihir gak bisa. Kenapa juga ya, Rowling kok gak bikin semacam internet gitu, di dunia sihir? Kalo Hermione jadi blogger kan postingnya pasti asyik2 tuh, hehe...

    Jadi, serius mo jadi penulis nih? Aku ikut doain ya, semoga keinginanmu terkabul.

    Btw, sering update dunk! Senang baca tulisanmu.

    ReplyDelete
  2. Semoga berhasil!

    You got yourself a fan even before you started (or have you?) :D

    ReplyDelete
  3. @Hoeda: Hahaha :D Entahlah, mungkin biar makin berasa pemisahannya antara dunia kita sama dunia sihir? Pastinya, Hermione tipe pemikir gitu sih ya.

    Iya serius dong :) Makasih yaa, makasih banget doanya :'D Harus banyak belajar dari Mas nih.

    Maunya sih gitu (sering update), suka kepikiran macem2 pula. Tapi urge buat nulisnya itu loh... Seringnya malah jadi matung di depan layar haha

    ReplyDelete
  4. @Rani: Aaaaa Rani :')) This means much to me, thankyouu! Yes, I think I could call this a start :)

    ReplyDelete
  5. Kasus kayak si Amina ini pernah terjadi di Indo. Pernah denger kasusnya Diantra? Mungkin ga seheboh Amina ya, tapi tetep bikin kesel tau kalo kita ditipu mentah2. Hehe

    ReplyDelete
  6. Wah belum pernah denger tuh (malah gak aware sama kasus lokal ._.) Ada link kronologi lengkapnya kasus Diantra? Penasaran jadinya hehe.
    Iya ngeselin sih, tapi toh awalnya intensinya Tom MacMaster gak buruk, cuma supaya dia bisa dianggap objektif dalam ngomentarin isu Timur Tengah (karena sering banget pendapat kritis dikait2kan sama latar belakang si pemberi pendapat, yang malesin banget). Yang mungkin bikin sedikit kelewatan ya pas dia semacam mendramatisir dgn mereka-reka adegan penculikan, yang gak dia sangka bakal nerima reaksi seheboh itu.

    ReplyDelete