Thursday, June 16, 2011

Hail, Writers!



Tadi saya habis nonton Mata Najwa, yang malam ini ngebahas tentang dunia persepakbolaan di Indonesia.

Tepatnya, membuka seberapa kotor konspirasi di dunia bola.

Bukannya berarti saya rajin ngikutin perkembangan persepakbolaan Indo, tapi saya memang suka nonton Mata Najwa kalo kebetulan lagi tayang, karena biasanya ulasannya menarik, membuka wawasan baru, dan terkadang fenomenal...

...seperti hari ini. Eh, fenomenal atau nggak-nya itu subjektif ya. Bagi saya sih begitu, karena saya baru dengar. Saya baru tahu kalau keputusan wasit itu bisa dibeli. Malah tadi si narasumber bilang, dia berani jamin bahwa 99,99 % wasit pasti mau nerima suap.

Saya cuma bisa ngurut dada.

Profesi yang bisa 'dibeli' itu nggak asing di Indonesia. Hakim yang disuap, pengacara yang disuap, wartawan yang disuap... Sekarang ini lagi, bahkan wasit pun bisa disuap!
Kalau hakim atau pengacara saya ngerti lah (ngerti ya, bukan memaklumi), karena itu menyangkut kriminal, salah-salah kena denda, masuk penjara. Kalau wartawan... mereka punya kekuatan ngendaliin opini publik, membongkar borok, dan membuka aib. Wajar aja kalau dikasih uang biar tutup mulut.

Tapi ini wasit? Profesi yang berkaitan dengan notabene sekedar permainan? Walaupun kita tahu, sepakbola di sini diwarnai kepentingan politik. Duh, please lah ya....

Terus, saya ngomel-ngomel soal ini ke pacar.

Dia merespon, "Aku jadi mikir, di Indo apa coba yang bersih?"

Well... Entahlah. Saya nggak sepesimis itu sih tentang negara kita. Jelek jelek juga kita tinggal dan cari makan di sini. Walaupun negeri ini banyak boroknya, saya tetap punya harapan kok kalau luka-luka itu bakal sembuh. Biarin kalau orang bilang saya naif.

Tapi setiap dengar berita semacam ini, rasanya jengkal demi jengkal harapan yang saya punya dikikis habis. Saya nggak mau percaya, tapi ini fakta. Kecuali, tentu saja, kalau ini rekayasa belaka.

Kalau nanti negara kita benar-benar berubah ke arah yang lebih baik, saya penginnya ikut terlibat, ambil peran.  Dengan apa? Ikut berpolitik? Tidak, tidak, saya tidak mau profesi yang ribet dengan birokrasi. Birokrasi kita itu sampah. Kamu masuk sebagai orang idealis, berharap bisa mengubah semuanya, tapi ujung-ujungnya juga kena tekanan sosial. Kamu dikatai aneh kalau tidak korupsi, dikatai bodoh kalau tidak terima suap.

Namun, tidak dengan penulis. Penulis cukup duduk manis, jadi pengamat, nulis pendapat. Bisa sambil menghibur, bisa sambil mengkritik.

Misalnya kayak penulis ternama, Putu Wijaya. Saya pertama kali tahu tentangnya dari buku kumpulan cerpen di perpustakaan. Waktu itu saya baca cerpennya yang berjudul 'Suap' dan saya langsung suka. Kemarin-marin saya baru tahu kalau beliau punya blog yang isinya kumpulan cerpen yang ia tulis (eh ya kemana aja lo....). Di situ saya sadar, Putu Wijaya ahli sekali menyisipkan puntiran (twist) di akhir cerita. Meskipun kebanyakan cerpennya bertema sosial, nuansa ceritanya sama sekali tidak membosankan, karena kritik sosial di dalamnya disampaikan lewat dialog-dialog cerdas. Menghibur, tapi konstruktif.

Kelihatan kan. Apa yang ditulis penulis, itulah manifestasi pikirannya, cerminan dirinya. Gamblang. Suka ya suka, nggak ya nggak. Penulis tidak mungkin dicap bermuka dua. Mana pengaruhnya besar pula. Kurang enak apalagi coba?


Itulah, kenapa saya ngebet jadi penulis.


3 comments:

  1. Birokrasi kita itu sampah. Right!

    Tapi, Klara, penulis tuh 99,99% (kayaknya sih) hidup susah. Karena emang gak bisa dibeli. Gimana tuh? :)

    ReplyDelete
  2. PUTU WIJAYA FTW!! 8D Aku juga suka sama cerpen-cerpennya! Yang aku suka itu adalah dia seakan-akan nggak memberi konklusi, di akhir cerita tetap apa adanya terus kita jadi mikir macem-macem.

    ReplyDelete
  3. @Hoeda: Gak papa, yang penting saya ngelakuin apa yang saya suka dan gak terpaksa :D Idealis banget ya haha

    @Rani: Iyaaaaa banget Ran! Bener-bener seolah-olah ceritanya dibiarinin bercerita sendiri, terus kitanya bisa multiinterpretasi. Keren ya :'))

    ReplyDelete