Saturday, February 5, 2011

Happiness is...



Manusia itu makhluk penuh ambisi. Katanya, harus ambisius biar ada tujuan hidup. Harus ambisius biar sukses. Sukses? Sukses itu apa? Kamu mau sukses supaya apa? Bahagia?

Katanya, sukses itu kalau kamu punya mobil sepuluh, rumah duapuluh, istri tigapuluh (eh...)
Serba banyak pokoknya.

Jadi, kalau punya harta yang udah sampai nggak bisa dihitung, mestinya kamu bahagia. Iya, kan?
Tapi banyak kan, orang yang nggak bahagia meskipun begitu. Padahal mau ngapain aja tinggal menjentikkan tangan, langsung terlaksana. Tapi kok rambutnya malah memutih sebelum umurnya? Kok sering sakit kepala kalau malam? Kok nggak tenang amat sampai perlu dijaga bodyguard?

Saya rasa mereka kadang memijat kepalanya sambil mensugesti diri.
'Setidaknya gue punya ini dan itu. Gue lebih baik dari mereka yang nggak punya apa-apa'

Eh...siapa bilang?
Mereka mungkin lebih mengerti arti kebahagiaan dari kamu, yang mengejarnya tapi malah hilang arah.
Karena mereka nggak pusing utang sana-sini, cukup mikir apa yang harus dimakan hari ini.

Dan bayangkan orang sederhana yang hidup serba cukup, tidak lebih tidak kurang, tanpa tahu ada orang lain untuk dijadikan perbandingan. Bukankah dia orang paling bahagia di dunia?

Jadi, mau yang mana?
orang kaya yang nggak pernah puas

atau

orang sederhana tapi bahagia?

Kalau saya mah,
maunya jadi yang sederhana. Lahir di tempat terpencil, nggak pernah mengecap yang namanya kekayaan atau keserakahan manusia. Nggak tersentuh oleh media yang menampilkan gemerlap dunia (Tahu E-channel nggak? Kalau nonton itu dijamin kamu bakal mendadak merasa jadi orang paling melarat sedunia). Nggak tahu di luar sana ada orang yang punya lembaran kertas bertuliskan angka-angka yang mereka anggap berharga. Saya mah, maunya cuma punya bunga-bunga kecil yang saya sirami setiap hari, supaya mereka bisa tersenyum sama mentari pagi. Makanan? Saya bisa masak sendiri dari kebun sayuran kecil yang saya punya di belakang rumah. Saya bahagia dan nggak merasa kekurangan. Karena nggak tau di luar sana ada orang yang punya lebih, lebih banyak makanan, lebih banyak tanah dan rumah, pokoknya lebih.
Maunya.

Tapi, kamu tahu kan...

...itu terlalu utopis.

Saya sudah merasakan sedikit ini dan sedikit itu (siapa juga yang nggak?). Sedikit uang, sedikit kekuasaan, sedikit pengetahuan, sedikit nafsu, sedikit kendali. Manusia kan nggak pernah puas, sedikit saja cukup untuk membuat mereka meminta lebih, termasuk saya. Tahu di dunia ini tolak ukurnya dilihat dari apa yang kita punya. Semua mendadak komersil. Semua bisa dibeli dengan uang. Katanya itu esensi hidup. Nggak heran semuanya berlomba mengumpulkan harta, supaya mendapat sedikit tempat dan pengakuan di antara manusia yang berjejalan. Eh, saya tanpa sadar ikut terseret lomba ini. Dan nggak bisa berhenti. Karena ini mengontaminasi. Karena sama kayak makanan, kalau kamu sudah ngerasain yang lebih enak, mana puas kalau disuruh makan yang pertama kali kamu coba?
Padahal saya cuma pengin bebas. Termasuk bebas dari tuntutan harus mengejar ini dan itu.

Gimana, dong?






sincerely,


Orang yang meracau di kala hari menjelang maghrib


No comments:

Post a Comment