Thursday, November 25, 2010

Letting Go

bl0emetje.deviantart.com




Ketika saya lagi berpikir, apa yang mau ditulis hari ini, tiba-tiba kamu muncul dalam bentuk sekotak chat conversation, berkerlip dalam warna biru-oranye. De javu. Sudah lama tidak begitu.


Mendadak saya bernostalgia


Saya ingat kali terakhir kamu panggil saya lewat chat. Ada sensasi yang kini tidak kurasa.


Rasanya sudah lama sekali,
sejak masa ketika saya tersentak melihat nama kamu muncul, memanggil saya
ketika sepotong kata sapaan mampu memberi secercah warna
ketika saya memilih hati-hati kata yang saya ketik,
supaya kamu kerasan bercakap-cakap dengan saya malam ini,
atau malam besok, atau malam besoknya lagi.


Rasanya aneh sekali,
mengingat sekarang kurasa kamu bukan seseorang yang berarti
mengingat sekarang tidak kupeduli kamu barang setitik pun
mengingat senyum yang dulu buatku gila sekarang rasanya hambar tanpa rasa
mengingat kamu yang dulu begitu dekat sekarang bagai orang asing
Asing
Aku tidak kenal kamu, sekarang




*   *   *



Betapa lucunya kita, manusia
Bagaimana kita pernah mencinta, kemudian melupa


Seseorang yang pernah jadi segalanya, kini bukan siapa-siapa


Dicinta, mencinta
Tersakiti, menyakiti


Betapa ajaibnya, waktu
Bagaimana ia menyembuhkan segala luka


Membuat kamu suatu hari terbangun dan menyadari
Bahwa patah hatimu telah pulih
Bahwa hatimu telah berhenti berdesir ketika mendengar namanya disebut
dan ia tak lebih dari sepotong lembaran usang


Mungkin aku butuh satu tahun,
mungkin kamu dua tahun,
mungkin dia satu dekade,
atau mereka seabad.


Tapi bagaimana pun juga,


tak ada luka yang tak mengering.



Saturday, November 20, 2010

A Penny for My Thoughts About Religion


tiberiunedelea.deviantart.com


Gue hampir 100% yakin,
kebanyakan orang nggak mikir dua kali tentang kotbah atau ceramah yang mereka denger dari pemuka-pemuka agama. Entah itu pendeta, pastur, ustad, kyai, biksu, dan sebagainya. Kesannya, semua yang dilakukan pemuka agama itu pasti bener. Maka kita cenderung percaya omongan mereka bulet-bulet.

Nyatanya, apa yang dikatakan pemuka agama bisa keliru, kalo nggak mau dibilang sesat.

Sebelumnya, gue nggak bermaksud memojokkan agama mana pun dalam tulisan ini.



*   *   *


Beberapa waktu lalu, gue ngedengerin kotbah pada sebuah kebaktian di sekolah gue (sekolah Kristen).

Pembicara (pendeta) ini sebelumnya pernah diundang ke sekolah gue buat bawain kotbah dengan tema multimedia. Waktu itu aja, gue udah ngerasa beberapa poin dari yang disampaikannya nggak sesuai sama  kenyataan atau terkesan mengada-ada.

Ternyata, hari itu dia membawakan kotbah dengan tema yang sama alias multimedia lagi...
Parahnya, caranya ngebawain kotbah dan materi kotbah yang dibawain pun sama persis sama kunjungannya yang terakhir. Dia bahkan nggak ngubah tampilan slide presentasinya.

Abal abis.

Gue jengah. Banyak penjelasan dan asumsi yang pembuktiannya nggak ada dan nggak berpedoman pada Alkitab. Semuanya cuma karangan dia. Sepanjang sisa kebaktian, gue pun ogah-ogahan ngedengerin kotbahnya.

Di akhir kotbah, dia muter video tentang penderita AIDS di Thailand yang dikarantina.

Kok dari multimedia bisa tiba-tiba ngebahas AIDS?
Jangan tanya, gue juga bingung. Kotbahnya memang aneh.

Dia ngomong dengan gaya berapi-api,
“Kalian lihat, ini para penderita AIDS. Dalam waktu beberapa bulan saja mereka berubah menjadi kurus kering, kondisi fisiknya menurun drastis!

Tidak, saya bukannya menakut-nakuti kalian!! Kalian  lihat sendiri... Mereka terjangkit AIDS akibat pergaulan bebas...!

AIDS itu disebarkan melalui seks bebas bla bla bla...

Maka supaya menghindari AIDS, kalian generasi muda ini harus menjauhi seks bebas bla bla...”


Pas denger ini, gue langsung panas.

Pendeta ini mulai mirip Tifatul Sembiring (insiden Twitter).

Nggak, nggak salah bahwa virus HIV/AIDS itu bisa ditularin gara-gara aktivitas seks.

Tapi yang salah adalah ketika pendeta ini nekenin seolah-olah HIV/AIDS cuma bisa ditularin lewat seks bebas.
Padahal jalur penularan HIV/AIDS itu pada intinya adalah lewat pertukaran cairan tubuh such as cemen, blood, etc.

Cuap-cuap si pendeta ini menurut gue, sama seperti tweet tidak bertanggung jawab-nya Tifatul Sembiring, ngasih semacem stigma bahwa Penderita AIDS = Najis.
Seolah-olah, penderita HIV/AIDS itu semua orang nista yang emang pantes menderita penyakit itu karena gaya hidup mereka yang (menurut dia) nggak bener.

Gimana dengan mereka yang mengidap AIDS karena bawaan dari lahir?

Atau karena transfusi darah?

Atau jarum suntik tidak steril?

Salahkah mereka?

Para penderita AIDS terbeban oleh stigma semacam ini. Mereka dalam kesehariannya mendapat cap negatif dari orang-orang sekitar karena ‘AIDS’ seringnya dihubungkan dengan ‘seks bebas’. Dan kotbah si pendeta ini nggak membantu sama sekali.

Gue panas...
Gimana kalau... apa yang dia kotbahin ngubah persepsi seseorang tentang AIDS?
Rasanya gue pengen lari ke atas mimbar, ngerebut mic dari dia en teriak,

“Jangan dengerin ! Orang ini goblok, sesat
!”

Terlalu radikal. Bisa-bisa gue diskors.



*   *   *


Bayangin, berapa orang yang sudah terpengaruh oleh kotbah si pendeta ‘sesat’ ini?
Mungkin di tempat laen kotbahnya bukan tentang AIDS, tapi dengan pola pikir dia yang kayak gitu… rasanya sangat mungkin kotbah-kotbah dia yang lain pun sama sesatnya.

Lalu ujung-ujungnya, gue (lagi-lagi) mempertanyakan tentang agama.
Entah berapa banyak pemuka agama ‘sesat’ semacam ini.
Betapa bodohnya gue kalau gue menggantungkan kepercayaan dan iman gue atas dasar apa yang dikatakan manusia, yang sangat bisa salah (please, kejadian ini udah lebih dari cukup buat ngebuktiin argumen gue).

Gue nggak bilang semua pemuka agama itu pasti salah. Tapi, secara yang namanya agama itu ajaran yang umurnya udah beribu-ribu tahun… Siapa yang bisa jamin kalau ajaran yang sekarang kita anut itu bener-bener pure dari Yang Maha Kuasa ?

Larangan-larangan di setiap agama… Siapa yang bisa jamin kalau larangan itu bener-bener wahyu dari yang di atas, bukannya hasil kebudayaan manusia ?

Dan lagi, kayanya setiap agama (setidaknya ini yang gue liat) diperlengkapi pemikiran bahwa mempertanyakan ajaran agama itu dosa, murtad.Inilah, yang ngebikin kita cenderung nelen bulet-bulet apa yang diomongin pemuka agama, karena kita dilarang ‘bertanya’.
Kalau emang bener ajaran itu dari Tuhan, oke. Tapi kayanya banyak oknum yang sengaja melabeli perbuatan dan omongan mereka atas nama ‘agama’, demi dianggep bener oleh massa.

Bukannya bodoh kalau sampe justru apa yang kita percaya nggak lain cuma rekayasa manusia?

Gara-gara kejadian ini, gue makin nentang ‘kemutlakan’ suatu agama. Bukannn, bukan berarti gue menentang siapapun yang stick sama agama tertentu. Itu pilihan kalian. Tapi gue nggak suka ajaran yang bilang “ajaran kita paling bener”.
Helloooo, gimana lo bisa bilang ajaran lo paling bener, kalo di dalem agama itu sendiri penyampaian ajarannya aja masih beda-beda?

Dan lagi, bukannya kita cenderung nganut satu agama karena dari kecil kita udah disosialisasiin tentang agama itu? Misalnya, karena orangtua nganut agama itu, atau lu dimasukkin ke sekolah dengan homogenitas agama tertentu.

Kalau kayak gitu... misalkan emang bener-bener ada satu agama yang ‘mutlak’ benar...
Berarti, masuk surga atau nggaknya seseorang udah ditentuin sejak dia lahir dong ?
Kejem amat…
Atau, ada 5 (atau lebih) pintu surga untuk masing-masing agama ?
Aneh ah.
Gue percaya, Tuhan lebih adil daripada itu.

Gue sendiri nggak suka label, apalagi label agama.

Meskipun tentu, banyak value bagus yang bisa diambil dari ajaran setiap agama. Banyak banget.
Pengen banget bisa mendalami setiap agama.

Menurut gue, kebenaran itu harus kita cari tau sendiri.

Dan plis, berhentilah saling mengkritik antaragama... Karena pada dasarnya ajaran kita sama.
Sama? Ya eyalahh. mana ada agama yang ngajarin umatnya buat nyolong, bikin rusuh,
atau bakar-bakar rumah ibadat agama lain? Anarkis sama umat agama lain? :)



P.S. :
- Gue nggak ikut sekte-sekte apapun. Jadi postingan ini dibuat bukan dengan maksud mendoktrin siapa-siapa, tapi murni pemikiran gue aja.

-  Gue tau ini topik sensitif. But then again...this is my very own blog. I am allowed to post anything I want! HAHA. Nggak seneng ya monggo, klik tanda silang merah di kanan atas, makasih. Thanks for reading, anyway







Wednesday, November 10, 2010

Brief Review of FBS 2010 at FK UI Salemba

Mau cerita, tapi udah basi, tapi boleh dong, boleh lah yaaa

Sabtu, 30 Oktober 2010 yang lalu, Fakultas Kedokteran UI mengadakan Forum Bahasa dan Sastra 2010, yang merupakan FBS yang ke-3, dan pertama kalinya dibuka untuk umum (sebelumnya ini acara internal). Acara ini bertempatkan di gedung Parasitologi, FK UI, Salemba.

Loh, kok bisa... fakultas kedokteran malah ngadain acara sastra?

Di dalam FK UI itu sendiri ada kumpulan mahasiswa yang punya minat besar di bidang tulis menulis, dan mereka tergabung dalam Tim Redaksi Media Aesculapius. Media Aesculapius, yang akrab disebut MA ini, merupakan surat kabar kedokteran dan kesehatan terbitan mahasiswa FK UI.

Jadi, dalam rangka ngerayain bulan Bahasa setiap bulan Oktober, kumpulan mahasiswa pencinta sastra ini ngadain FBS.

Balik ke topik...

Gue nggak bakalan dateng ke acara ini kalau bukan gara-gara dorongan si pacar. Katanya, ini kesempatan bagus buat dapetin ilmu di bidang tulis menulis (secara gue pengen ambil jurnalistik) dan lagi HTM nya MURAH,
cuma DUA PULUH RIBU PERAK.
HAHAHA.
Entah kenapa gue seneng.

Tadinya gue masih ogah-ogahan, alesannya: takut bentrok sama kerja kelompok. Setelah dipikir-pikir, alesannya super nggak penting. Akhirnya gue memutuskan pergi juga.

Acara ini dibagi jadi 3 sesi:
  1. Bedah buku “5 Menara” oleh penulisnya, Ahmad Fuadi
  2. Seminar dan Workshop “Tips dan Trik Mempublikasikan Karya”  oleh Khrisna Pabichara, Esti Kinasih, dan Aulya Elyasa
  3. Jumpa Tokoh Sastra Indonesia: Darwis Tere-liye


Jujur, gue sama sekali nggak pernah denger tentang satu pun  dari pembicara-pembicara itu.


Tau deh, tau Esti Kinasih, pernah baca novelnya. Oke, itu satu. Sisanya, bener-bener nggak kenal. Cuma tertarik karena ceritanya berkaitan sama ‘bahasa dan sastra’.

Bermodalkan nekat dan uang duapuluh ribu, gue dan pacar berangkat pagi-pagi ke UI Salemba. Registrasinya mulai jam 08.00. Kami berangkat jam 07.00. Pagi amat? Iya, soalnya 50 pendatang pertama bakal dapet novel GRATIS.
Kami nggak mau rugi, duapuluh ribu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya *senyum licik*.

Ternyata pas sampai sana, kami...kepagian.

Kami kira begitu, karena yang dateng masih sedikit. Rupanya sampe pas acara mulai pun, hadirinnya nggak sebanyak yang kami kira.



Sesi 1 : Bedah Buku “5 Menara”

Di posternya sih, ditulis: BEDAH BUKU BESTSELLER “5 MENARA” oleh AHMAD FUADI.
Tapi gue nggak pernah denger…

Bukan, bukan maksud nuduh pihak UI ngibul dalam publikasi, tapi emang dasar gue udah lama nggak ke toko buku, jadi nggak tau buku yang lagi hits.

Gue jadi mikir, ini gimana mau ikut sesi bedah buku ya kalau baca bukunya aja nggak pernah ?
Bisa-bisa gue cengo nggak ngerti apaan yang dingomongin.

Walaupun nggak pernah baca bukunya, sesi ini bisa gue ikuti dengan sangat baik. Karena, ternyata yang namanya bedah buku itu mirip-mirip sama promosi buku. Dan... ‘promosi’nya Ahmad Fuadi ini sukses, pemirsa. Gue jadi kepengen beli “5 Menara”.

Cerita di buku itu merupakan improvisasi dari kisah masa kecilnya penulis, tentang bagaimana dia masuk pesantren dan belajar banyak hal di sana. Err, nggak sesimpel itu, tapi gue nggak bisa ngejabarin terlalu panjang, karena gue lupa-lupa inget resensinya “5 Menara” ini. Pokoknya menarik deh, banyak value yang bagus banget, dan rencananya buku ini mau di-filmkan oleh Salman Aristo (sutradara Laskar Pelangi).

Ahmad Fuadi sendiri orang hebat. Dari perkenalannya, dia cerita gimana dia bisa dapetin 8 beasiswa ke luar negeri, dan gimana dia pernah pergi ke berbagai negara, belajar banyak bahasa, dan kerja di kantor surat kabar di Amrik. Pengalamannya yang banyak itu pastinya banyak menginspirasi dia dalam nulis buku-bukunya.


Satu hal yang jadi pembelajaran buat gue di sesi ini :

Pas sesi tanya jawab, ada yang nanya,
“Saya mau nanya, apa mas Ahmad Fuadi ini mengambil inspirasi dari novel-novel lain? Seperti misalnya, Harry Potter ? Karena saya liat ceritanya mirip sekali dengan Harry Potter, di mana latar belakangnya asrama, dan ada permainan favorit, dan semacamnya...”

Ini di telinga gue kedengeran seperti, “Ngaku deh, LU NYONTEK KAGA SIH?”


*   *   *

Cerita sedikit, pada waktu itu gue sendiri lagi dilematis tentang masalah ‘orisinalitas’ ini. Gue sedang dalam proses menulis buat lomba ‘Esai Pemikiran Kritis’ yang diadakan KANOPI FEUI.


Dalam proses menulis itu, gue dapet masukan dari guru gue…yang ternyata idenya bagus, lebih fresh daripada punya gue. Tapi, gue terlalu gengsi buat masukin ide itu ke esai gue, karena gue merasa sangat ‘nggak banget’ kalo pake ide orang laen.

Iya, gue menjunjung tinggi orisinalitas. Rasanya nggak rela gitu… kalau ternyata bikinan gue itu ada campur tangan orang lain. Pokoknya harus pure ide gue.


*   *   *

Ahmad Fuadi

Ahmad Fuadi menjawab,

“Yak... Pas saya baca Harry Potter, saya curiga J.K. Rowling malah surveinya di Gontor (tempat pesantren Ahmad Fuadi). Habisnya, memang mirip banget...

Tapi saya memang banyak baca-baca novel lain dalam proses penulisan ‘5 Menara’ ini, itu sangat membantu sekali. Agak susah ya memulai novel yang genrenya seperti saya ini, karena sebelumnya belum ada novel lokal yang cerita tentang pesantren.

Jadi saya banyak cari inspirasi di novel lain kayak Laskar Pelangi, Harry Potter...”


*   *   *

Bahkan Ahmad Fuadi pun ngaku bahwa dia butuh referensi dari novel-novel lain…
Nggak ada salahnya nerima masukan dari orang lain, apalagi kalau lagi bikin sesuatu yang berorientasi pada hasil (Justin, 2010)
Sepertinya ego gue harus dikurangi lagi :)

There’s nothing new under the sun, after all.

P.S.: Gue akhirnya nerima usulan guru gue itu, dan esai gue diterima masuk ke final :D




Sesi 2: Seminar dan Workshop “Tips dan Trik Mempublikasikan Karya”
Khrisna Pabichara
Sumber: facebook.com

Seperti yang ditulis di atas, ada 3 pembicara dalem sesi ini:
Khrisna Pabichara, Aulya Elyasa, dan Esti Kinasih.

2 penulis, dan 1 editor yang juga penulis.

Sebelum sesi ini, kita dikasih handout tentang “Jurus Ampuh ‘Menjual’ Karya”. Bahasanya formal, tapi santai, jadi sangat menarik. Nggak ngebosenin bacanya. Ternyata, yang nulis handout itu Khrisna Pabichara. Gue simpulkan, dia orang yang ahli merangkai kata.

Pas sesinya berjalan pun, Mas Khrisna jadi pembicara yang paling vokal di antara 3 pembicara lainnya. Sementara Mbak Esti dan Mas Aulya tipsnya kurang lebih tentang gimana sebaiknya kita ngirim naskah ke penerbit, Mas Khrisna lebih ke encouraging kami buat berani nulis dan terus belajar teknik-teknik menulis.

Mas Khrisna ini juga boleh dibilang ‘narsis’. Dia pede banget soal karya-karyanya, tulisan-tulisannya.

“Gimana kita bisa ngarep orang lain suka karya kita, kalau kita sendiri nggak cinta tulisan kita?”

Poin bagus. Menurut gue semua penulis harus punya pola pikir kayak gitu.

Gue suka pembawaannya Mas Khrisna, dan betapa dia ngasih banyak masukan yang konstruktif.
In the end, gue berhasil dapetin e-mailnya. Seneng banget, bisa dapet koneksi ke editor :D







Sesi 3: Jumpa Tokoh Sastra Indonesia
Darwis Tere-liye

Harusnya pembicara di sesi ini dua orang, tapi yang satu berhalangan dateng.

Jadilah pembicara di sesi ini Darwis Tere-liye seorang.

Pas dia masuk ruangan, gue sedikit underestimate.

Gimana nggak? Dia dateng nggak bawa apa-apa, berkantung mata, pake kaos, jaket, celana gombrong, dan...sendal jepit. Yang terakhir itu sih nggak termaafkan. Bener-bener bikin kesan lancai. Gue pikir, apa semua sastrawan kayak gini? Mirip-mirip seniman gitu yang cuek sana sini?

Tapi pas dia ngomong...
wah.

Dia itu nyentrik, kritis, pemikir radikal, dan nggak pake bu hao yi si buat nyuarain pemikirannya.

Nggak cemas kalo omongannya bisa nyinggung orang lain. Tapi, itu yang bikin dia keren. Kita emang udah kebanjiran orang munafik. Ini baru beda.

Ini penggalan-penggalan omongannya dia:

“...coba deh kalian baca buku saya. Ambil aja ngasal, yang mana aja. Nggak usah beli gapapa, pinjem aja. Ngapain juga beli? Boros-boros duit, mending pinjem...”


“Ayo masih ada yang mau nanya nggak? Kalo nggak saya pulang nih!”

“Kota saya (Bandung) itu enak. Bebas macet, bebas banjir. Cuma sekarang jadi macet aja kalo hari Sabtu-Minggu, pas kalian, orang-orang Jakarta, dateng menuh-menuhin Bandung.”


See? Dia itu cablak dan nyentrik.


Kutipan yang paling gue suka dari dia:

“Saya lebih suka kalo orang-orang pinter menulis daripada pinter ngomong.
Kenapa? Misal saja, hari ini saya ngomong sama kalian semua. 10 jam ke depan kalian masih inget, 10 hari kalian masih inget... 10 bulan? Mungkin bahkan nama saya aja kalian udah lupa.

Tapi ketika kalian menulis, itu berarti kalian ‘membekukan’ sesuatu. Apa yang jadi pemikiran kalian waktu kalian nulis, semua perasaan kalian, itu bakal ‘dibekukan’.

Coba deh, kalian nulis sesuatu hari ini, tentang apa pun pemikiran kalian. Kalian liat, 10 tahun ke depan, ketika kalian buka lagi tulisan kalian, kalian akan MALU dengan diri kalian sendiri, betapa kalian sangat berbeda dengan diri kalian yang dulu.

Kalian yang dulu yang mencita-citakan diri kalian yang ideal seperti apa, tapi ternyata kalian malah jadi orang yang berbeda. Kalian bakal mikir, ‘kok gw jadi begini ya ?’

Itulah tulisan, kalian ‘membekukan’ pikiran, perasaan kalian. Apa yang berharga saat itu.”

Memotivasi buat nulis banget.

Belum puas dia bikin ‘ulah’ sepanjang sesi, pas seserahan plakat di akhir sesi dia ngomong:

“Apa ? Plakat ? Oh ya, saya lupa bilang ya sama panitia FBS? Saya nggak suka terima plakat. Menuh-menuhin lemari aja. Nggak, nggak usah, makasih.”

Tipe orang yang nggak bakal ada dua kali.







Overall menurut gue acara FBS ini KEREN BANGET.
Acaranya berisi, ngebuka wawasan, dan ngasih ilmu banget. Apalagi HTM-nya tergolong murah.

Tapi sayang, kayaknya kurang gencar publikasinya. Jadi yang dateng nggak terlalu rame. Padahal acara ini berkualitas banget. Mungkin gara-gara baru pertama kalinya dibuka buat umum.


Sukses buat Tim Media Aesculapius! :D

Saturday, November 6, 2010

Cosmological Coincidence



Buat yang udah baca MMJ-nya Raditya Dika, mungkin familiar sama istilah ini


"Cosmological Coincidence"


Wetss keren ya istilahnya. Walo nggak tau artinya pun, those words sound likee uber cool.


Kalo di bukunya Radit, definisinya tuh begini:


"Cosmological coincidence, atau kebetulan kosmos, kebetulan yang dirancang oleh alam semesta. Semesta telah mengatur pertemuan kita. Lebih jauh lagi, gue gak percaya pada kebetulan, gue lebih percaya pada pertemuan yang dirancang diam-diam. Masing-masing dari kita punya garis kehidupan yang telah digambarkan. Dan masing-masing dari kita, kalau diizinkan, akan saling bersinggungan."


Radit mengaitkannya dengan cari jodoh.
Sedangkan gue di sini, cuma mau pake definisinya sampe kalimat pertama TITIK aja:


"Cosmological coincidence, atau kebetulan kosmos, kebetulan yang dirancang oleh alam semesta."




I think I kinda experience it yesterday.
Kejadiannya cukup simpel sih.


Sebelum gue ceritain kejadian kemaren, ada baiknya gue flashback dulu dikit.
Jadi, beberapa hari lalu....



*  *  *


Berhari-hari sebelum hari-H


...ulangan listening mandarin gue dibagiin.
Cih nilai apaan nih?
Gue bisa kok pas ngerjain!
Gue cuma nggak sempet nebelin ulang, jadi nggak dinilai yang masih ditulis pake pensil.
Jadi kesel.
Jadi keki.
Nggak puas.
Pokoknya nggaaaaaaaak mau kalo nilai gue cuma segini.


Ternyata, lao shi (guru) gue berbaik hati mau ngasih ulangan ulang buat yang nilainya masih merah.


Gue... nggak sampe merah sih, tapi tipis banget sama batas merah.
Nggak terima, gue melas-melas biar dikasih ikut ulangan ulang.
Akhirnya, setelah pusing dengerin gue memohon-mohon dan ngedumel, lao shi akhirnya nyerah.
Gue boleh ikut ulangan ulang.


YES.



*  *  *


Kemarin, sebelum hari-H


Tolol bin tolol.
Kenapa...
gue...
malah tinggalin...
bahan ulangan mandarin...
di laci meja gue...
di SEKOLAH
....
Yak, udah susah-susah ngusahain biar boleh ikut ulangan ulang, dengan konyolnya gue nggak bisa belajar gara-gara pikun gue kumat.
Seumur-umur, nggaaaakk pernahhh gue lupa bawa pulang bahan ulangan.


Hadeuhhhhhhhh


Mana gue lagi ada acara di sekolah laen, dan baru kelar jam 8 malem.


Gue pengennnnn banget balik ke sekolah,
ngambil buku mandarin gue, biar gue bisa belajar.


Tiba-tiba entah kenapa muncul pikiran di kepala gue,
what if... this is just meant to be?
what if... this is, somehow, a way of that 'Unknown' to tell me there's no need for me to study for tomorrow?
what if... this is a sign for me that, somehow with any utter nonsenses, that tomorrow's test will be postponed?


Akhirnya, gue mutusin buat langsung pulang aja.
Bukaaaaaan, bukan gara-gara 'what if's itu,
tapi emang gue dasarnya males aja *HUUUUUUU*
*timpuk pake batu*
*pala bocor di sudutan*
*kok gue jadi seru sendiri?*
*ah entahlah*
Pas nyampe di rumah, gue langsung ambruk di ranjang. Capek bok.




*  *  *


Hari ini, Hari-H


Paginya di sekolah, temen gue yang juga ikut ulangan ulang bilang,


"gue nggak belajar loh buat ulangan hari ini... males..."


"loh kenapa?"


"iya, kemaren si lao shi bilang, hari ini belom tentu jadi ulangan, soalnya ruang auvi nya belom tentu bisa dipake..."


Hatiku berbunga-bunga.




Taunya... taunya...
pas lao shi masuk, dia bahkan nyinggung soal listening pun nggak sama sekali (nyet...)
Malah dia langsung suruh kita semua ngeluarin kertas dan ngerjain tugas lain.




Fuahhhhhhhhh


Betapa gue merasa sangat bersyukur semalem gue memilih nggak balik ke sekolah dan buang waktu yang nggak guna.
Betapa gue merasa bersyukur kemaren gue memilih buat langsung rebah ke ranjang.


Kebetulankah?
Kebetulan ulangan dibatalin bertepatan dengan gue memutuskan buat nggak belajar?
Berhubung sebelumnya, gue nggak pernah, sengaja ataupun nggak sengaja, ninggalin bahan ulangan di sekolah.
Atau malah sebaliknya...
justru ketinggalannya bahan ulangan tanpa sengaja itu, malah jadi pertanda?




I kinda believe, that universe is giving 'signs' to us, about what will happen next...
only, if we were wise enough to see those signs.


I am convinced, that this is more than just another coincidence.




Because everything happens for a reason.