Wednesday, December 1, 2010

just wondering, fellow students: what do you after?

Source: flickr




Hai. Pengin cerita nih.
Kemarin-marin...



Eh...


tunggu tunggu,


pernah bertanya-tanya nggak kenapa saya selalu mulai dengan kata 'beberapa hari lalu', 'beberapa waktu lalu', '... yang lalu', dan kali ini 'kemarin-marin...',


nggak pernah gitu awalnya 'Hari ini...'?


(Pembaca: Siapa juga yang nanya...?!)


Jawabannya sederhana! *masih ngotot jawab*
*dirajam pembaca*
Saya. males. nulis. langsung. hari itu juga.



Saya tahu, saya tahu. Males itu nggak boleh dipelihara.


Maka itu, hari ini saya bertekad ngabisin utang-utang tulisan yang mestinya kemarin-marin sudah terpampang di sini.


Dan untuk selanjutnya, semoga saya lebih tepat waktu.




Jadi... kemarin-marin kami, segenap murid kelas XII, dapet tugas nulis esai dari guru Bahasa.
Topiknya bebas.
Saya kepikiran beberapa topik sih... tapi akhirnya saya mutusin buat bahas tentang... ehem, iklim pendidikan sekarang ini.


Bukannnnn, tulisan ini bukan berbau seperti ceramah datar, formal, dan kaku di acara pembukaan tahun ajaran. Saya kepikiran topik ini karena perenungan pasca-ulangan-ekonomi. Tadinya saya emang udah niat mau nulis tentang itu di sini. Terus kebetulan ada tugas esai itu. Yaudah sekalian jadiin topik deh.


Terus... saya tetep pengin ngepost di sini.


Jadi, ini dia:




*   *   *



Ketika yang Mereka Cari Bukan Lagi Ilmu



Belum lama ini, semua murid XII IPS SMA IPEKA Sunter menempuh ulangan Ekonomi, termasuk saya. Sepanjang mengerjakan soal, tidak saya temukan kesulitan yang berarti. Bahkan saya menyelesaikannya dalam waktu yang cukup singkat. Saya menyempatkan diri mengecek jawaban kembali sebelum mengumpulkannya.

           Sebelum saya mencapai meja guru, seorang teman datang menghampiri.

            “Vir, pinjem dong jawaban lu, mau ngecek hehe.”

            Kami pun saling mencocokkan. Ketika diperiksa, ada satu nomor di mana jawaban kami berbeda. Hati saya mencelos, jawaban milik siapa yang salah? Soal bermasalah itu bentuknya kurang lebih seperti ini: ada 5 pernyataan, lalu ditanyakan 3 pernyataan yang benar dari 5 pernyataan yang tersedia itu. Ketika kami menelusuri soal dan pilihan jawabannya, ternyata jawaban yang saya yang salah, karena... saya salah menyilang pilihan jawaban. Padahal saya sudah menandai pernyataan yang benar. Entah bagaimana saya menyilang kombinasi jawaban yang berbeda. Entah bagaimana kesalahan itu luput dari perhatian saya ketika pengecekkan ulang. Entah kenapa saya bisa sebodoh ini. Entah kenapa...

            Sekejap saya berhenti memaki diri sendiri. Pikiran saya berbalik arah dan mulai bertanya-tanya. Bukankah yang terpenting adalah saya sudah mengetahui jawaban yang benar? Bukankah poin penting dari pendidikan itu sendiri adalah pembelajarannya? Berarti, tidak masalah saya salah menyilang, toh pada awalnya saya sudah menandai jawaban yang benar. Toh sebenarnya saya mengerti maksud dari soal tersebut. Toh sebenarnya saya menguasai materi itu, bukankah begitu? Lalu mengapa saya mengeluhkan nilai saya yang akan sedikit berkurang karena kesalahan teknis?

            Mungkin tampak bodoh bahwa saya mempertanyakan pemikiran saya sendiri, tetapi hal ini kemudian menjadi perenungan saya. Jika diamati, iklim pendidikan yang ada saat ini lebih menekankan pada pencapaian nilai bagus oleh para siswa, tanpa kepedulian apakah siswa-siswi tersebut benar memahami ilmu yang ditanamkan. Oke, mungkin saya sedikit hiperbola. Bukannya tanpa kepedulian, mungkin ada, namun hanya setitik. Sedikit sekali dibandingkan tekanan yang diberikan institusi-institusi pendidikan itu kepada murid-muridnya untuk mencapai nilai cemerlang. Pada akhirnya, murid-murid pun mematok dirinya berdasarkan nilai yang didapatkan.

Asumsi belaka? Kebetulan saya mengalami kejadian yang berkaitan dengan hal ini.
Beberapa waktu lalu, saya bercakap-cakap dengan beberapa teman sekelas saya. Pada satu kesempatan, saya mengutarakan bahwa saya mengagumi seorang artis (sebut saja artis A) karena kepandaiannya, yaitu wawasannya luas serta pola pikirnya yang tajam. Lalu saya bandingkan dengan artis B, yang menurut saya biasa saja.

Seorang teman saya berceletuk, “Oh, si B itu pinter kok! Katanya dia di kampusnya nilainya bagus-bagus gitu...”

Saya garuk-garuk kepala. Sejak kapan ya kepandaian seseorang itu dilihat dari nilai akademisnya?

Sejak dulu....

Maaf, idiotnya saya kumat lagi. Bertanya sendiri, menjawab sendiri.

Tapi bagaimana pun idiotnya saya, setidaknya kejadian tersebut membuktikan bahwa persepsi orang tentang kepintaran itu bergantung pada nilai yang didapatkan. Anggapan semacam ini kemudian akan memacu murid untuk mengejar ‘nilai’ dibanding mengejar ‘ilmu’, demi mendapat label ‘pandai’ dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Atau dengan kata lain, mindset yang ada saat ini bukannya ‘pergilah ke sekolah, kejarlah ilmu supaya kamu dapat menerapkannya di dalam pekerjaanmu kelak’, tetapi lebih condong ke arah ‘pergilah ke sekolah, dapatkan nilai bagus supaya kamu bisa masuk universitas bagus dan dapat pekerjaan yang baik’.

Padahal, apalah arti nilai itu ketika kita memasuki dunia kerja? Mungkin hanya sebagai tiket untuk mendapatkan pekerjaan sedikit lebih mudah dibanding pelamar lain yang nilainya lebih rendah. Tetapi untuk mempertahankan pekerjaan? Nilai itu tentu sudah tidak bermain peran lagi, melainkan lebih bergantung pada seberapa dalam kita menguasai bidang tersebut. Sayangnya penguasaan bidang yang bersangkutan itu sering kali gagal direpresentasikan oleh rekap nilai seorang siswa/mahasiswa, karena seperti yang sudah saya jabarkan di atas, pelajar kebanyakan berorientasi pada nilai, sehingga bukannya tidak mungkin mereka akan melakukan cara apapun untuk mendapatkan nilai yang tinggi, walaupun mereka sendiri sebenarnya tidak terlalu memahami ilmu yang mereka dapatkan. Pokoknya, nilai saya bagus, begitu yang mereka pikirkan.

Lalu, institusi pendidikan (sekolah dan universitas) pun tidak membantu memperbaiki iklim ini, kalau tidak mau dikatakan memperparah. Cukup banyak dari institusi pendidikan itu yang justru memfasilitasi para pelajar yang masih kurang memahami materi ini untuk mendapatkan nilai lebih tinggi, yang sebenarnya tidak layak mereka peroleh. Alasannya adalah semata-mata untuk mempertahankan nama baik institusi tersebut dan meningkatkan prestise. Fenomena ini tentu saja tidak kasatmata bagi sebagian besar komunitas masyarakat. Saya sendiri baru terbuka matanya ketika saya membaca pengakuan seorang mantan dosen di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta. Oei Pek Jin, begitu mantan dosen ini dipanggil, mengaku bahwa selama mengajar di universitas tersebut, ia mendapat semacam tekanan dari rektor untuk ‘berbaik hati’ memberikan nilai lulus pada mahasiswa, meskipun mahasiswa tersebut tidak mampu sama sekali untuk pelajaran itu. Jika tidak, maka posisinya sebagai dosen yang akan terancam. Oei Pek Jin pun kemudian memutuskan untuk keluar karena ia bersikeras mempertahankan gaya mengajar dan standar pemberian nilainya.

Sebenarnya apa yang perlu diperbaiki di sini? Ada dua permasalahan besar yang dapat kita simpulkan, yaitu mengenai 1) iklim pendidikan yang tidak lagi sehat, serta bagaimana 2) institusi pendidikan yang ada saat ini pun ikut terbawa iklim yang tidak sehat ini.

Menanggapi isu yang pertama, saya terpikirkan bahwa penghapusan sistem ranking mungkin  dapat menjadi solusi yang ideal untuk permasalahan ini. Pada awalnya sistem ranking mungkin dimaksudkan untuk memacu motivasi belajar siswa agar mencapai prestasi yang lebih baik. Namun lagi-lagi, ini membuat pelajar menjadi lebih mengejar nilai demi mendapatkan title ‘ranking’ yang bergengsi itu. Di sisi lain, sistem pengurutan posisi pelajar secara hierarkis berdasarkan akumulasi nilai mereka ini dapat memojokkan siswa yang memiliki prestasi yang kurang baik. Kelompok pelajar ini akan merasa tersisih dan tidak dipandang orang karena mereka tidak menempati urutan yang ‘ideal’ berdasarkan parameter ranking tersebut. Alih-alih peningkatan motivasi belajar, hal ini malah akan menyebabkan penurunan semangat belajar siswa tersebut. Terlebih lagi seringnya sistem ranking ini kemudian akan menimbulkan semacam stigma ‘anak pintar’ dan ‘anak bodoh’. Mereka yang mendapat stigma ‘anak bodoh’ pun lambat laun akan kehilangan minat belajarnya. Padahal, institusi pendidikan seharusnya menciptakan situasi di mana seluruh siswa memiliki antusiasme yang sama untuk menimba ilmu.

Mengenai poin yang kedua, saya pikir permasalahannya terletak pada kentalnya persaingan antar institusi untuk mendapatkan murid sebanyak mungkin. Pendidikan pun kini menjadi komersil, tidak lagi untuk memenuhi misi mulia mendidik anak bangsa. Oleh karena itu, salah satu pemecahan yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk dilakukan adalah pembatasan pendirian institusi pendidikan, atau memperketat perijinan. Tujuannya adalah untuk mencegah penambahan instritusi pendidikan yang kian menjamur. Jika banyak institusi pendidikan yang ‘bersaing’ di lapangan, institusi pendidikan akan berusaha bagaimana pun caranya untuk meningkatkan prestise dan nama perusahaan, termasuk dengan meluluskan murid tanpa peduli murid tersebut pantas atau tidak, demi kredibilitas sebagai institusi pendidikan unggulan.

            Namun terlepas dari solusi apapun yang saya usulkan, saya tetap percaya Menteri Pendidikan kita punya rencana yang lebih baik untuk menanggapin isu ini. Setidaknya saya sudah menyampaikan aspirasi saya sebagai salah satu pelajar yang turut merasakan kekurangan yang dimiliki oleh sistem pendidikan kita. Kiranya untuk ke depannya, iklim pendidikan kita dapat lebih membaik, yaitu dapat dengan sukses menanamkan ilmu yang menjadi bekal bagi setiap siswanya agar dapat bertahan kelak di masyarakat, bukan sekedar mendorong siswa-siswinya untuk mendapatkan prestasi gemilang.




*  *  *



Sekian... tulisan (sok) kritisnya saya.


Tolong dimaklumin ya, 4 paragraf terakhir dibuat dalam keadaan super ngantuk.
Jadi penutupnya berantakan gitu.


Pas besoknya saya baca ulang, saya bingung sendiri, kenapa tau-tau bisa ada Menteri Pendidikan? Emang ini ceritanya lagi ngapain coba? Ah taulah... kayaknya masih kebawa suasana KANOPI kemarin-marin, nulis buat menteri. Katanya, esai yang baik itu yang memberi ruang buat pembacanya untuk berpikir. Ah...rasanya saya pengin ilangin bagian yang ngusulin solusi itu... sotoy banget kesannya.


Terus, salah satu syarat paragraf yang baik adalah tidak boleh ada pengulangan kata dalam satu paragraf, gitu kata guru Bahasa saya.
Tapi pas saya baca ulang kalimat terakhir... ada kata 'dapat' dipakai empat kali. 4 kali. Dalam satu kalimat.


Rupanya saya benar-benar ngantuk berat.







2 comments:

  1. Baca ini rani langsung ngefans sama blognya Viren.

    ReplyDelete
  2. aww ur words has just really made my day. makasih banget ya ranii :))

    ReplyDelete