Kita, manusia, senantiasa dikelilingi label.
Ini bukan pernyataan yang dilempar untuk diperdebatkan.
Sebaliknya, ini merupakan pernyataan yang tidak tergoyahkan.
Pernyataan ini benar sebenar-benarnya, entah kamu sadar atau tidak.
Bahwa hidup kita senantiasa terikat oleh label.
Kita berusaha meraih label.
Menargetkan segenap pencapaian demi mendapatkan titel.
Dan apa namanya titel-titel itu kalau bukan label?
Label sebagai mahasiswa universitas ternama, sebagai ayah, sebagai akademisi dengan sederet gelar, sebagai penyuka suatu genre lagu,
dan seterusnya dan seterusnya.
Tapi jika semua label itu dicopot, apakah kamu masih bisa mendefinisikan dirimu sendiri?
Tidak?
Menyedihkan.
Seolah eksistensi kita ditentukan oleh seberapa banyak label yang menyertai kita.
Kamu ada atau tidak?
Manusia atau bukan?
Atau kamu cuma umbi bawang
Ditelanjangi lapisan demi lapisannya, lalu menjadi tiada?
Karena dia tidak punya apa-apa selain tumpukan sel berbentuk lapisan.
Miskin eksistensi.
Entah sejak kapan, saya nyaris menghindar dari segala bentuk keterikatan.
Termasuk keterikatan akan label.
Setiap saya berusaha mendeskripsikan diri saya, saya akan menghindari penggunaan label.
Untuk membuktikan bahwa saya sepenuhnya manusia,
bukan cuma makhluk hasil akumulasi label-label pemberian sesama.
Tetapi toh ada label mayor yang tidak mampu dihindari sebagian besar manusia: Nama.
Ya, semua orang punya nama, bukan?
Ketika ada manusia tanpa nama, manusia lainnya akan bersikeras memberi nama.
Karena mereka bingung harus memanggil apa.
Kenapa?
Padahal, makhluk lain tidak memerlukan nama untuk meyakinkan dirinya ada.
Kenapa kita, yang konon katanya makhluk paling sempurna dan berakal,
justru kebingungan untuk menemukan eksistensi tanpa bantuan aksara?
Adalah angan terbesar saya
Untuk tetap menancapkan eksistensi di dunia.
Tanpa bantuan sekumpulan aksara yang mereka sebut 'nama'.