Gak tau ya kalau kalian, tapi saya sih nggak seberapa peduli. Err bukannya nggak peduli apatis gitu. tapi rasanya gara-gara saking seringnya kejadian semacem itu, kuping saya jadi semacem 'kebal' dan sayanya sendiri semacem mikir 'Jakarta ya emang gitu' dan 'Okay it happens but just to some random people and I couldn't care less'.
Sampai beberapa hari lalu
saya dapet kabar dari si pacar, temen-temen saya, yang kemudian jadi heboh di sekolah.
Ada alumnus sekolah saya, David Enggar, yang meninggal dengan cara yang sama sekali nggak wajar:
dicekik tali sepatu,
diiket kabel USB,
dan dibuang ke kali di Karawang.
diiket kabel USB,
dan dibuang ke kali di Karawang.
(Ini artikelnya: bataviase.co.id.)
Sebelum dibunuh, dia sempet pergi ke apotek deket rumahnya. Di depan apotek itulah dia diculik dan kemudian dibunuh.
Kita udah pada heboh gara-gara yang meninggal ini alumnus, walau saya nggak kenal dan nggak pernah liat mukanya karena umurnya jauh bertahun-tahun di atas saya.
Lebih heboh lagi pas tau kejadian ini ternyata di daerah SUNTER.
Kenapa? Karena sekolah saya ini letaknya di daerah Sunter (ya eyalah namanya juga IPEKA Sunter),
jadi kita kayak semacem
'ya ampun, deket-deket sini dong kejadiannya?!'
'ya ampun, deket-deket sini dong kejadiannya?!'
Dan lagi, Sunter ini daerah yang termasuk aman. Bukan pusat kota macem Mangga Besar gitu.
Tambah heboh lagi pas tau dia pergi ke apotek itu naik mobil. NAIK MOBIL.
Eh... mana kepikiran sih bisa-bisanya orang naik mobil itu diculik? Ya kan?
Guru saya nambahin lagi, katanya kejadian ini nggak malem-malem amat,
sekitar jam 7an, bukan tengah malem atau dini hari.
Kesimpulan dalam tiga kata: Sungguh. Tidak. Terduga.
Masih belum pulih dari shock, saya jadi keinget kejadian yang saya alami sendiri beberapa waktu lalu.
Hari itu hari Kamis. Seperti biasa, saya latihan debat sampai sore jauh melewati jam bubar sekolah. Jujur sebenarnya saya sedikit malas, bukan karena latihannya itu sendiri, tapi karena saya sering bingung mau pulang naik apa. Kadang mobil antar-jemput masih ada sampai sore, dan saya bisa pulang naik itu. Kalau tidak yah... saya harus cari transportasi lain.
Hari itu saya kurang beruntung. Supirnya pada kuya ato entah apalah jadi ya saya ditinggal.
Saya SMS papa, minta jemput. Dia bilang baru bisa jemput sekitar jam 6an. Saya liat jam, baru jam 4. Ealah lama banget dah gua mana sabar.
Saya duduk-duduk di warung depan sekolah sambil mikir 'pulang naik apa ya...'. Kebetulan saya lagi laper berat. Makin lama saya duduk makin saya pengin teriak ke ibu warung 'Bu! Indomi satu dong!'
Tiba-tiba aja ada random thoughts.
Daripada gua duduk di sini menggendutkan diri makan indomi mending gua sekalian pulang jalan kaki bakar lemak ngencengin paha. Ha! Sekali dayung tiga pulau terlampaui.
* * *
Hari itu hari Kamis. Seperti biasa, saya latihan debat sampai sore jauh melewati jam bubar sekolah. Jujur sebenarnya saya sedikit malas, bukan karena latihannya itu sendiri, tapi karena saya sering bingung mau pulang naik apa. Kadang mobil antar-jemput masih ada sampai sore, dan saya bisa pulang naik itu. Kalau tidak yah... saya harus cari transportasi lain.
Hari itu saya kurang beruntung. Supirnya pada kuya ato entah apalah jadi ya saya ditinggal.
Saya SMS papa, minta jemput. Dia bilang baru bisa jemput sekitar jam 6an. Saya liat jam, baru jam 4. Ealah lama banget dah gua mana sabar.
Saya duduk-duduk di warung depan sekolah sambil mikir 'pulang naik apa ya...'. Kebetulan saya lagi laper berat. Makin lama saya duduk makin saya pengin teriak ke ibu warung 'Bu! Indomi satu dong!'
Tiba-tiba aja ada random thoughts.
Daripada gua duduk di sini menggendutkan diri makan indomi mending gua sekalian pulang jalan kaki bakar lemak ngencengin paha. Ha! Sekali dayung tiga pulau terlampaui.
Entah kenapa pas itu saya merasa ide itu sangat brilian. Belakangan saya baru tahu ternyata nggak.
Saya membulatkan tekad dan melangkah pulang. Jarak jalan kakinya lumayan jauh dari Sunter-Kelapa Gading. Mungkin sekitar 5 km ada kali ya *padahal 1 km aja nggak tau seberapa jauh
Sepanjang jalan saya nggak merasa ada yang aneh. Cuma...capek sih. Berdebu pula jalanan itu gara-gara kendaraan yang lewat.
Setelah sekitar 3/4 jarak sekolah-rumah saya tempuh, tiba-tiba ada taxi berhenti di depan saya. Bukan Blue Bird, tapi warnanya biru. Saya lupa taxi apa, Sepakat ya kalau nggak salah. Lalu si supir keluar dari bangku kemudi. Rambutnya sudah memutih, mungkin umurnya sekitar 50an.
'Dek, rumahnya di mana?'
Apa pula ini Bapak nanya-nanya rumah gua?
'err di Kelapa Gading, Pak...'
'wah searah loh. Sekalian sama saya aja, Dek?'
'nnng nggakk usah, Pak, nggak papa makasih yaa'
'beneran nggak papa, Dek, ikut saya aja. Gratis. Kasian kamu'
Entah tersihir kata 'gratis' atau raut muka si bapak yang ramah itu, ditambah lagi saya memang sudah capek jalan kaki, saya masuk ke taxi.
*pressing fast forward button*
Dan saya pun sampai di rumah dengan selamat.
* * *
Kalau David Enggar tadi pergi naik mobil,
saya pulang cuma jalan kaki, pake seragam sekolah pula.
Dia anak kuliahan, saya anak SMA.
Dia laki-laki, saya perempuan.
oke udah mulai nggak jelas
DUH
poin saya adalahhhhhh
Kurang empuk apalagi saya buat diculik dan semacemnya itu??
Cewek SMA jalan sendirian di jalan raya pula. Kalau ada mobil yang berhenti terus saya dipaksa masuk ke mobil itu juga nggak bakal ada yang liat kali. Jalan raya gituloh, bukan depan apotek.
Dan lagi, saya bisa-bisanya masuk ke taxi yang mengiming-imingi jasa gratis.
Padahal saya sepantesnya curiga.
Dan sangat tidak dianjurkan serta luar biasa bodoh untuk menerima tawaran dari orang asing.
Tapi saya terima.
Eh ya gusti...
Selebornya minta ampun.
Pas saya cerita ke temen saya, dia bilang 'lu udah kayak dihipnotis tau ga bisa sampe mau masuk gitu'
Yeah right.
Kalau dipikir-pikir saya bisa se'polos' itu buat jalan kaki pulang ke rumah dan masuk ke taxi yang ditawarin mungkin karena saya waktu itu sama sekali nggak punya prasangka bakal ada terjadi apa-apa sama saya.
Saya masih berpikir daerah sekitar ini aman. Iya, saya tau ada banyak kejadian kriminal, but it happens to random people. Nggak kepikiran ada kemungkinan itu pun bisa menimpa saya.
Apparently not.
Pas denger tentang David ini dan keinget hal bodoh yang saya lakukan waktu itu, rasanya merinding.
Kalau dibilang kematian itu bisa dihindari dengan hati-hati, nggak juga deh kayanya.
Buktinya jelas saya jauh lebih ceroboh dari David ini.
Maybe, after all, it comes back to something we know as 'fate'.
Kita jarang sekali berpikir tentang kematian.
'Gua masih muda kok, idup masih panjang'
Kita berencana ini itu buat beberapa jam ke depan, beberapa hari ke depan, beberapa minggu ke depan, beberapa bulan atau bahkan tahun yang akan datang.
Tanpa berpikir sedikit pun akan kemungkinan mungkin kita nggak akan hidup selama itu.
Mungkin saya nggak bisa buka mata lagi besok.
Mungkin ini postingan terakhir saya.
Sangat sedikit mereka yang bisa dibilang siap menerima kematian itu kapan aja.
Saya bukannya mau nakut-nakutin supaya kalian parno akan adanya Grim Reaper di setiap tempat,
tapi entah kenapa saya merasa setiap kali ada orang yang meninggal, saya semacem diingatkan.
Manusia nggak se-almighty itu ya. Mereka yang hari ini manusia paling 'wah' besoknya bisa jadi tinggal badan tanpa nyawa. Mereka yang sombong akan berbagai macam hal besoknya bisa tinggal tulang belulang. Kalah oleh hal yang sering diabaikan manusia: kematian.
Apalagi kalau yang meninggal itu orang-orang terdekat.
Kadang kita bertanya-tanya, 'oh dia! kenapa harus mati sekarang?'
'kenapa harus dia?'
'kenapa.. kenapa..'
Maybe, just maybe, some deaths were indeed intended to be
like to remind us
of death
that might be lurking just around the corner
"Memento Mori"
Tenang kok, ga lo doang yang berpikiran untuk pulang skolah jalan kaki, cuman untuk alesan gue adalah: HEMAT ONGKOS.
ReplyDeleteTapi ajaib juga tu bapak. Gue bilang sih kehidupan kita juga dipengaruhi "faktor x", yang setiap waktu X itu bisa berubah jadi apa, either a good or bad one.
Tapi ajaib juga lo dianter supir taxi. Kalo dipikir, supir taxi emg ada yang daerah gading ye? Berarti tajir banget dong si supirnya.
parah ini oke banget Ren.bingung komentar apa (agak ngespam)
ReplyDeleteDan itu supir taksi super baik banget ya semoga masuk surga deh bapaknya.
@darwin: nah makanya X itu apa? nasib kah? ngga tau jg tuh si bapak. tapi ada sedikit cerita lg tentang dia di post berikutnya =p
ReplyDelete@rani: hahaha 'agak ngespam' xD nggak lah ya rannn. emang ran baenya ngga ketolongan sampe heran loh masih ada aja yg ky gitu :o
ReplyDelete