Saturday, June 25, 2011

Literally Babbling

Nggak bermaksud ngeluh, tapi...
Pernah nggak kalian ngalamin suatu kejadian, di mana seluruh alurnya dari awal sampai sesaat sebelum akhir begitu bahagia? Lalu momen indah yang terakumulasi itu, mendadak lenyap, hancur, tercecer, tercincang-cincang--apa sajalah terserah kalian--karena sebuah keputusan yang salah untuk mengakhiri hari itu dengan sempurna?

Kayak semacem... Kalian nonton film yang bagus, cantik banget keseluruhan alurnya, setiap adegannya pas, tapi endingnya bikin kalian teriak, "Eh eh kok gini sih akhirannya?! APA-APAAN NIH? Balikin tiket gue!" (ceritanya nonton di bioskop)

Kayak semacem... Kalian lihat ada cewek cantik banget. Beh nggak ada deh cewek secantik itu. Putih, mulus, .... *isi titik-titik sesuai imajinasi pribadi*. Tapi ternyata... dulunya laki. #eh

Saya pernah. Sekarang lagi mengalami, tepatnya. Terus keselnya sampe ke ubun-ubun. Entah ini pengaruh PMS atau nggak, saya jadi over-sensitif, (ya, tidak perlu canggung sama sekali menyinggung PMS karena itu seratus persen normal, cing!), yang jelas saya benar-benar.... HUH! HAH! HUH HAH!
Na nanana nana nanana
Eh... itu lagu Best Friend - ToyBox ya.
Intinya, semacem gondok gitu.

Entahlah. Saya nggak tau sekarang jadinya saya maunya apa.

Minta maaf itu klise.
Janji itu usang.
Tekad itu basi.
Omongan itu kosong.
Memutar balik waktu itu di luar logika.

Sebenarnya saya punya pilihan, ketika momen terakhir itu akan datang. Tapi kalau saya menolak, rasanya sama saja. Cuma masalahnya di sini, pihak mana yang bakal dipuaskan, dan yang lain harus dikecewakan.

...Kalau menolak, akan dikata tidak logis. Yang tadinya bukan masalah, sekarang kenapa dibesar-besarkan?
Saya tidak bisa menjawab.
Ah Bung, orang akan selalu berpatok pada masa lalu kan? Tidak pernah ada ruang untuk perubahan. Tidak. Apa yang kamu lakukan, itu akan menelurkan stigma yang selamanya menempel padamu. Entah kamu bertahan atau membuatnya semakin parah. Tidak. Ada. Perbaikan.

Kalau lagi kayak ini... saya merasa... cuma tulisan lah yang bisa jadi pelarian.
Lihat, huruf-huruf yang saya susun jadi serangkaian kalimat dan paragraf. Cantik, kan? Mereka tidak mendengar, tapi bercerita. Yang akan dibaca orang. Entah kenapa, itu mengurangi beban saya. Orang selalu merasa lebih baik ketika mereka tahu ada orang yang tahu pula tentang masalah mereka kan? Kita, manusia, memang makhluk yang suka cari perhatian.

Bingung?

Sama, saya juga bingung.
Kamu bingung.
Dia bingung.
Mereka bingung.
Semua bingung.
Dan saya tidak akan repot-repot menjelaskan. Biar kita tenggelam bersama dalam kebingungan ini.
Kompak gitu loh.

Bung, ini pasti tulisan saya yang paling tidak terstruktur sepanjang masa. Korelasinya apa coba antar paragraf... Ha ha ha. Saya lebih mirip orang mengigau.

Ya, mengigau.

Habis ini saya bakal meringkuk, menggulung diri, memeluk guling, menampar diri sendiri kalau bisa.
Dan semoga besok pagi saya bangun dengan otak yang lebih waras
dan sadar bahwa ini ledakan hormon belaka.


Monday, June 20, 2011

In Between: Reality and Fantasy



Kemarin malam, terus kemarin-marinnya lagi, saya iseng browsing Wikipedia.org sebelum tidur, bagian in the news. Lewat artikel '2011 Syrian Uprising', saya jadi tahu kalau setelah Mesir, Tunisia, sekarang giliran Syria yang ngalamin pergolakan politik (ketahuan nggak pernah nonton berita). Orang-orang demo di mana-mana, nuntut perubahan.

Tapi di artikel itu ada yang lebih menarik buat saya dibanding tentang ribut-ributnya itu sendiri: sebuah blog.
Ciee mentang-mentang blogger....
Bukan, bukan gara-gara itu.

Mungkin kalian sudah tahu (atau jangan-jangan... emang cuma saya yang baru tahu),
judul blog itu 'A Gay Girl In Damascus'.

Judulnya saja sudah bikin penasaran kan.

Ya, blog ini isinya curhatan seorang wanita yang mengaku bernama Amina, kelahiran Amerika-Syria, lesbian, dan tinggal di Syria. Postingnya kebanyakan komentar tentang perjuangan Syria dalam mencapai kemerdekaan dilihat dari sudut pandang warga sipil, juga tentang kondisi sosial di sana. Apalagi dengan statusnya sebagai lesbian. Di negara yang nganut Islam konservatif. Bisa-bisa dihukum pancung.

Dan ya, blognya menarik perhatian banyak orang. Salah satu postingnya yang terkenal adalah 'My father, the hero'. Di sini Amina cerita tentang bagaimana sang ayah melindungi dia dari dua petugas keamanan yang mau nahan dia karena tulisan-tulisannya. Oh, bukan berniat nahan aja sebetulnya, tapi juga ngancem mau memperkosa. Tapi ayahnya, tanpa adu otot apalagi senjata, berhasil 'memukul' mundur dua orang itu.

Setelah posting itu, popularitas blog itu melonjak.
Orang-orang memuji keberanian Amina untuk terus bersuara lewat tulisan-tulisannya. Orang-orang merasakan perjuangannya. Orang-orang bersimpati untuknya. Dukungan datang dari berbagai penjuru, baik dari mereka yang peduli isu di Timur Tengah maupun dari kaum LGBT. Karena itu, mereka luar biasa cemas, bahkan marah, ketika tanggal 6 Juni, Amina dikabarkan telah diculik.

Pada 7 Juni, 10.000 orang terkumpul di gerakan 'The Free Amina Arraf' di Facebook dalam waktu semalam. Malah sampai ada seorang jurnalis sampai memohon keterlibatan pemerintah U.S. dalam pembebasan Amina Arraf.



"U.S. government should...use its power and influence to call for Arraf's release." - Andrew Belonsky, Brooklyn Journalist


Respon yang heboh.

Kamu kira itu puncaknya? Belum. Karena pada tanggal 8 Juni, ada seorang wanita Kroasia, Jelena Lecic, yang mengklaim bahwa foto diri Amina Arraf yang dipajang di blog dan diberitakan di media sebenarnya adalah foto dirinya....


Jeger.

Ya. Amina Arraf yang dicemaskan, dibela, dielu-elukan banyak orang, yang kisah hidupnya menjadi inspirasi banyak golongan, ternyata cuma HOAX. Tidak nyata. Karakter buatan.
Penulis asli blog itu adalah Tom MacMaster, warga negara Amerika, dan sama sekali bukan gay. Dia mengaku bahwa ia membuat karakter Amina supaya ia lebih bebas berkomentar dan berdiskusi tentang isu Timur Tengah, dan sama sekali tidak menyangka tokoh fiktifnya itu akan sefenomenal ini.

Plot penculikan Amina? MacMaster menulisnya supaya orang-orang tidak bingung atas absennya tulisan di blog itu selama dirinya berlibur ke Turki.

Brilian.

Saya tidak perlu cerita seberapa tidak senang dan kecewanya kaum LGBT, penduduk Syria, dan segenap pendukungnya atas fakta itu. Merasa tertipu.




"If [MacMaster] had not been so emotionally resonant, so detailed, so seemingly 'real,' nobody would have cared so much when Amina disappeared, and nobody would have worked so hard to figure out what might have happened to her, and nobody would have learned that she was a pale man from Georgia. Which meant that, at least according to a chilling and narrow definition of what it means to be real on the Internet, Tom MacMaster was very good indeed at being Amina." - Monica Hesse, Washington Post


Saya bukan termasuk mereka yang dikecewakan itu. Saya tahu tentang ini setelah Amina terbukti hoax. Jadinya saya cuma bisa kagum sama MacMaster, betapa tulisannya bisa mengecoh banyak orang.
Dan untuk yang kesekian kalinya saya mikir, betapa kuat pengaruh dari sebuah tulisan.

Entah kenapa MacMaster mutusin buat nulis ini di blog. Mungkin biar lebih nyata. Atau sekedar supaya bisa bertukar pendapat. Padahal kalau dia nulis di buku, saya rasa orang-orang nggak bakal semarah itu kalau tahu Amina nggak nyata. Dan lagi, penulis tetap saja bisa menipiskan batas nyata dan tidak.

Misalnya novel The Kite Runner, yang banyak nyinggung kondisi perang dan sosial di Afghanistan.

ini poster filmnya

Entah saya yang masih anak bawang, belum pernah baca novel sebagus itu, atau memang Khaled Hosseini yang kelewat jago, tapi dulu saya sempet mikir: tokoh Amir itu beneran ada nggak ya? Belakangan saya sadar itu fiktif, tapi konflik perang, datangnya Taliban, rendahnya status sosial perempuan di sana, itu fakta.

J. K. Rowling juga, menyelipkan fiksi di antara fakta, fakta di antara fiksi, peron 9 3/4 di antara peron 9 dan 10, membangun dunianya sendiri di atas dasar kepercayaan orang atas sesuatu yang diyakini telah ada: penyihir.



Meski kita tahu kalau sebagian besar cerita Harry Potter itu karangan belaka, rasanya kita ingin percaya kalau dunia itu benar-benar ada.


Mau ngaku sedikit...
Pembaca Harry Potter pasti tahu kalau setiap anak-anak yang punya bakat sihir pasti dikirimin surat saat mereka umur 11 tahun. Surat pemberitahuan bahwa mereka masuk Hogwarts, yang dianter burung hantu.
Nah...
Dulu menjelang saya ulang tahun yang ke-11, saya setengah ngarep beneran ada burung hantu yang mampir ke jendela rumah saya (ya, ketawa sesuka kalian). Setelah ulang tahun ke-12, harapan saya pupus.
Ternyata saya cuma Muggle biasa.

 Tapi, hei, ternyata saya nggak sendirian! Saya pernah baca tentang orang-orang yang berkali-kali mencoba menabrakkan diri ke tiang di antara peron 9 dan 10 di King's Cross, berharap bisa nembus ke peron 9 3/4, meskipun udah berkali-kali ditegur sama petugas stasiun. Sampai akhirnya betul-betul dipasang palang 'Platform 9 3/4' di tiang itu. Hahaha... Seenggaknya saya nggak sampai kayak gitu kan? Ya kan? Kan?




Menulis itu menciptakan fantasi, dan mempertipis batasnya dengan kenyataan.
Saya salut buat penulis yang bisa menarik pembacanya ke dalam dunia yang mereka ciptakan, membuat pembacanya percaya apa yang mereka tuliskan, mempengaruhi pembacanya dengan apa yang mereka pikirkan.

Saya mau jadi salah satunya.
Dan akan jadi salah satunya (AMIN!)






- Kronologi lengkap 'A Gay Girl In Damascus' versi wikipedia: ini
- Berhubung 'A Gay Girl In Damascus' udah ditutup, bagi yang penasaran sama posting 'My Father, The Hero', bisa lihat salinan postingannya di sini :) 



image source image source image source

Thursday, June 16, 2011

Hail, Writers!



Tadi saya habis nonton Mata Najwa, yang malam ini ngebahas tentang dunia persepakbolaan di Indonesia.

Tepatnya, membuka seberapa kotor konspirasi di dunia bola.

Bukannya berarti saya rajin ngikutin perkembangan persepakbolaan Indo, tapi saya memang suka nonton Mata Najwa kalo kebetulan lagi tayang, karena biasanya ulasannya menarik, membuka wawasan baru, dan terkadang fenomenal...

...seperti hari ini. Eh, fenomenal atau nggak-nya itu subjektif ya. Bagi saya sih begitu, karena saya baru dengar. Saya baru tahu kalau keputusan wasit itu bisa dibeli. Malah tadi si narasumber bilang, dia berani jamin bahwa 99,99 % wasit pasti mau nerima suap.

Saya cuma bisa ngurut dada.

Profesi yang bisa 'dibeli' itu nggak asing di Indonesia. Hakim yang disuap, pengacara yang disuap, wartawan yang disuap... Sekarang ini lagi, bahkan wasit pun bisa disuap!
Kalau hakim atau pengacara saya ngerti lah (ngerti ya, bukan memaklumi), karena itu menyangkut kriminal, salah-salah kena denda, masuk penjara. Kalau wartawan... mereka punya kekuatan ngendaliin opini publik, membongkar borok, dan membuka aib. Wajar aja kalau dikasih uang biar tutup mulut.

Tapi ini wasit? Profesi yang berkaitan dengan notabene sekedar permainan? Walaupun kita tahu, sepakbola di sini diwarnai kepentingan politik. Duh, please lah ya....

Terus, saya ngomel-ngomel soal ini ke pacar.

Dia merespon, "Aku jadi mikir, di Indo apa coba yang bersih?"

Well... Entahlah. Saya nggak sepesimis itu sih tentang negara kita. Jelek jelek juga kita tinggal dan cari makan di sini. Walaupun negeri ini banyak boroknya, saya tetap punya harapan kok kalau luka-luka itu bakal sembuh. Biarin kalau orang bilang saya naif.

Tapi setiap dengar berita semacam ini, rasanya jengkal demi jengkal harapan yang saya punya dikikis habis. Saya nggak mau percaya, tapi ini fakta. Kecuali, tentu saja, kalau ini rekayasa belaka.

Kalau nanti negara kita benar-benar berubah ke arah yang lebih baik, saya penginnya ikut terlibat, ambil peran.  Dengan apa? Ikut berpolitik? Tidak, tidak, saya tidak mau profesi yang ribet dengan birokrasi. Birokrasi kita itu sampah. Kamu masuk sebagai orang idealis, berharap bisa mengubah semuanya, tapi ujung-ujungnya juga kena tekanan sosial. Kamu dikatai aneh kalau tidak korupsi, dikatai bodoh kalau tidak terima suap.

Namun, tidak dengan penulis. Penulis cukup duduk manis, jadi pengamat, nulis pendapat. Bisa sambil menghibur, bisa sambil mengkritik.

Misalnya kayak penulis ternama, Putu Wijaya. Saya pertama kali tahu tentangnya dari buku kumpulan cerpen di perpustakaan. Waktu itu saya baca cerpennya yang berjudul 'Suap' dan saya langsung suka. Kemarin-marin saya baru tahu kalau beliau punya blog yang isinya kumpulan cerpen yang ia tulis (eh ya kemana aja lo....). Di situ saya sadar, Putu Wijaya ahli sekali menyisipkan puntiran (twist) di akhir cerita. Meskipun kebanyakan cerpennya bertema sosial, nuansa ceritanya sama sekali tidak membosankan, karena kritik sosial di dalamnya disampaikan lewat dialog-dialog cerdas. Menghibur, tapi konstruktif.

Kelihatan kan. Apa yang ditulis penulis, itulah manifestasi pikirannya, cerminan dirinya. Gamblang. Suka ya suka, nggak ya nggak. Penulis tidak mungkin dicap bermuka dua. Mana pengaruhnya besar pula. Kurang enak apalagi coba?


Itulah, kenapa saya ngebet jadi penulis.


Tuesday, June 7, 2011

Be careful of what you wished for

Dulu, sebelum saya kepikiran buat ambil jurnalistik, saya yakin seyakin-yakinnya kalo saya bakal kuliah DKV, alias desain grafis. Karena itu, pastinya saya punya deviantART dong. Mana gaul gitu (calon) anak DKV gak punya deviantART? *halah

Tadi saya gak sengaja kebuka profil temen saya di deviantART. Ada comment saya di situ.
Di situ saya baru keinget kalo dulu saya punya signature (pesan yang bakal muncul di bawah setiap comment) kayak gini:

I wish I would die in plane crash someday.

Terus saya merinding. Saya lupa apa yang waktu itu membuat saya nulis kayak gitu. Saya langsung buru-buru login dan hapus signature saya.

Mungkin waktu itu saya tidak sadar bahwa kematian itu bukan hal main-main. Setelah umur saya bertambah, satu per satu orang yang saya kenal meninggal (sejauh ini belum orang yang benar-benar dekat dengan saya dan semoga dalam waktu dekat ini, jangan), saya mulai merasa bahwa hidup, betapapun mumet dan menyiksanya dia, itu terlalu indah untuk diharapkan supaya segera berakhir. Malah, menurut saya sebenarnya kadar kebahagiaan dalam hidup itu ditentukan kita, perspektif yang kita pilih sendiri. Makanya, sekarang saya sebel kalo denger orang ngomong, "Aduh hidup kok begini sih. Rasanya pengen mati aja deh."

It is not life which is being cruel to you, it is you that failed to see good things in life but yet trying to escape it through easiest way, coward.

Oh ya..... Saya tahu suatu hari nanti, entah kapan dan gimana caranya, saya bakal menyublim ke surga, neraka, atau mungkin malah ke dalam ketiadaan. Tapi, percayalah, kecelakaan pesawat itu hal terakhir yang saya bayangin bakal jadi cara saya meninggal.



....semoga semesta tidak mendengar permohonan saya yang hina itu.