Friday, December 31, 2010

another Indonesia - Malaysia (pointless) dispute

Saya nggak pernah sedikit pun tertarik buat nonton bola. Sepakbola ya maksudnya. Bahkan pas demam World Cup kemarin-marin aja saya nggak ikutan nonton. Padahal euforianya meledak-ledak, pada nonton bareng lah, nginep bareng lah, bangun subuh-subuh lah, demi nonton World Cup. Saya sama sekali nggak terpengaruh.








Tapi, final AFF 2010 kemarin itu pengecualian. Untuk pertama kalinya saya betah duduk di depan TV demi nonton bola. Alesannya nggak lain nggak bukan gara-gara:

1.       Indonesia masuk final AFF
Saya nggak pernah ngikutin karir persepakbolaan timnas Indo, tapi sejauh ini saya belum pernah denger ‘gaung’ prestasi mereka. Saya cuma tau, setiap kali World Cup, Indonesia nggak pernah lolos penyisihan. Walaupun setiap ada World Cup, Indo hampir pasti nggak lolos kualifikasi Asia, tetap saja saya sedikit punya pengharapan. Walaupun pesimis dan cenderung apatis, toh saya ya berharap-harap cemas juga. Siapa sih yang nggak mau negaranya maju? Tapi setiap kali ujung-ujungnya yah... kecewa lagi.

Pas denger Indo menang 5-1 di babak pertama AFF melawan Malaysia, saya cuma semacem “Oh...”

Kemenangan yang kedua. “Eh… canggih juga.

Ternyata berlanjut ke kemenangan ketiga. Kemudian ke kemenangan yang selanjutnya. Semakin banyak kemenangan yang diperoleh timnas, semakin saya berharap. Kecintaan warga Indo pada timnas kita juga nampaknya semakin meningkat. Dukungan semangat untuk Garuda, begitu timnas kita disebut, semakin terdengar di mana-mana. Sampai akhirnya Garuda tiba di final. Saya nggak nyangka, timnas yang tadinya saya remehkan prestasinya sekarang memperoleh kemenangan berturut-turut yang membuatnya berhasil masuk final. Saya jadi penasaran, seperti apa sih performa timnas sekarang?

2.       Indonesia akan melawan Malaysia di babak final
      Saya rasa semua warga Indonesia tahu tentang konflik negara kita dengan Malaysia, meskipun cukup banyak yang nggak tahu duduk permasalahan yang sebenarnya. Konflik ini menimbulkan kebencian mendalam warga Indonesia terhadap Malaysia, walaupun menurut saya ini hanya akibat salah paham, blow-up pers, dan provokasi berlebihan.

Pas denger Indonesia bakal ketemu Malaysia lagi... I was like ‘gila bisa-bisanya ngepas gitu dua musuh bebuyutan saling lawan di final’.



Pertandingan final AFF ini dibagi dalam 2 leg: leg pertama tanggal 26 Desember 2010 di Bukit Jalil, Malaysia, dan leg kedua tanggal 29 Desember 2010 di Gelora Bung Karno, Indonesia.

Komentar saya? Pertandingannya seru, seruuuuu banget. Saya sampai beberapa kali histeris sendiri, narik-narik ujung baju, gemes sendiri. Berhubung baru pertama kali nonton bola, jadi masih agak norak.



Tapi ternyata lebih seru lagi liatin reaksi para supporter :)




Terjadi gontok-gontokan antara supporter Indonesia dan Malaysia, yang berakar dari insiden laser. Pada leg pertama 26 Desember 2010, disebutkan bahwa supporter Malaysia berulang kali menyorotkan laser hijau ke mata Markus (keeper Garuda) sampai  dia merasa terganggu. Pertandingan pun sempat dihentikan selama beberapa menit supaya ‘laser-laseran’ itu reda.


Ketika pertandingan dihentikan itu, ada yang melempar petasan ke tengah lapangan.

Lalu pertandingan leg pertama ini dilanjutkan, dan berakhir dengan kemenangan 3-0 untuk Malaysia.

Banyak supporter Indo seolah nggak bisa menerima kekalahan itu. Lucunya, insiden laser itu yang dijadiin alesan. Padahal jelas-jelas nggak ada satu pun gol Malaysia yang terjadi pas laser-laseran itu lagi pada puncaknya. Ketiga gol Malaysia terjadi setelah pertandingan dihentikan sesaat dan laser mereda.

Lalu ada juga yang menuduh supporter Malaysia melempar petasan ke tengah lapangan dan mengganggu pertandingan, yang ujung-ujungnya menyebabkan Indonesia kalah. Ini sih super aneh. Jelas-jelas petasan dilempar pada saat jeda pertandingan, jadi secara teknis nggak melukai siapa pun dan nggak mengganggu jalannya pertandingan.

Hanya sedikit yang mengakui bahwa performa timnas memang sedang ‘kurang’, atau Malaysia memang pantas menang.

Kalau begini, apa bukannya supporter Indo yang terlihat kekanak-kanakan?

Belum lagi warga Indo yang cuma denger tapi nggak menonton langsung. Gampanglah mereka kena provokasi dari supporter fanatik berlebihan itu. Bisa saja yang mereka dengar hanya sebatas:
“Malaysia menang gara2 supporternya ngarahin laser ke Markus!”

“Masa supporter Malaysia ada yang lempar petasan ke tengah lapangan?!”

“Emang dasar negara maling.”

padahal mereka nggak tahu kronologisnya. Makin menjadi-jadilah hujat-menghujat ke Malaysia.
Malaysia yang terima berbagai macam hinaan yang makin lama makin nggak pantes itu jelaslah panas. Wajar-wajar aja kalau mereka membalas. Eh malah dikatain nggak bermoral sama (beberapa) (oke, lumayan banyak) orang Indo. Saya geli-geli campur miris jadinya.

Lalu leg kedua dilangsungkan, dan berakhir dengan kemenangan untuk Indonesia 2-1. Namun secara akumulasi skornya 4-2 untuk Malaysia, sehingga Malaysia pun keluar sebagai juara Piala Suzuki AFF 2010 ini, dan Indonesia sebagai runner-up.

Lagi-lagi masih banyak supporter yang menyalahkan laser atas kekalahan Indonesia secara keseluruhan (heran ya masih dibahas juga soal laser ini).

Lalu ada juga yang nulis di status FB dan Twitter-nya,

“Nggak papa kalah, yang penting bukan menang gara-gara laser.”

Saya malah malu. Rasanya semakin kita (Indonesia) menyinggung soal laser ini, makin kita terlihat seperti orang yang mencari-cari alasan atas kekalahan. Seperti anak kecil.

Padahal antar pemain Indo-Malaysia aja rukun damai sejahtera. Buktinya? Pas ada pemain Malaysia yang cedera, pemain Indo langsung buru-buru mijit kakinya biar cederanya nggak tambah parah (di pertandingan leg kedua). Sayang saya nggak punya videonya. Pemain Indo nggak ada yang mempermasalahkan kekalahan mereka sama sekali, kenapa malah supporter yang ribut?

Terus ada status Twitter yang lebih lucu lagi. Saya nggak bisa tulis sama persis, tapi intinya dia mengakui bahwa Malaysia ‘menang’, tapi Malaysia bukan ‘juara’ karena Malaysia sering mengklaim budaya Indonesia.

Selama ini sih saya nggak pernah setuju dengan cap ‘maling’ untuk Malaysia itu. Karena Indonesia dan Malaysia itu dua negara yang berdekatan, berbatasan, dan penduduknya serumpun pula. Bagi saya sih nggak aneh kalau beberapa budaya kita ternyata ada yang sama. Bisa aja karena seringnya interaksi antar warga di perbatasan selama berpuluh-puluh tahun mengakibatkan budaya kita tumbuh bersama. Well, kita nggak pernah tahu gimana persisnya kan? Wajarlah kalau kedua negara sama-sama berasa ‘memiliki’ budaya itu. Kita tahunya batik itu asli Indonesia, tapi tanpa kita ketahui budaya batik juga bertumbuh di Malaysia. Jadi pengklaiman Malaysia atas beberapa budaya Indonesia itu bukannya tanpa alesan, nggak terjadi begitu aja secara dadakan, dan menurut saya nggak pantes disebut ‘mencuri’.

Seandainya pun, SEANDAINYA, argumen saya tadi diabaikan, dianggep nggak ada dan nggak benar, saya rasa tetap nggak relevan mengaitkan kemenangan Malaysia dengan masalah ‘Malaysia maling’ itu, karena itu jelas dua permasalahan yang berbeda dan terpisah. Mungkin kasarnya, di satu sisi mereka itu ‘maling’, tapi kita harus mengakui bahwa mereka pemain bola yang tangguh, dan gelar juara itu pantes mereka peroleh.

Kadang, orang Indonesia tetap ‘batu’. Sudah jelas argumen mereka nggak sesuai, nggak relevan, masih aja,
“Alah ngomong apa si lo! Pokoknya gw tetep sebel! Dasar negara maling! Bisanya curang pake laser!” (sumpah ya saya sudah muak banget lihat mereka yang pake alesan laser ini)

Tapi ternyata, kita nggak lebih baik dari mereka dalam hal laser-laseran ini.

Saya sempet baca comment salah satu orang Malaysia di Youtube. Dia bilang bahwa Indonesia sama aja curangnya, pake laser di babak pertama AFF melawan Malaysia, sehingga Indonesia menang 5-1.

Saya penasaran. Ini beneran apa tuduhan kosong doang? Nggak afdol dong kalo nggak pake bukti. Saya coba browsing, terus ketemu lah video ini:



Perhatikan muka keeper Malaysia di menit 4:05-4:07. Kalau saya nggak salah lihat (semoga nggak karena saya udah replay berkali-kali), ada bayangan sinar hijau di wajahnya. Bukannya ini berarti Malaysia juga ‘dicurangi’?

Nggak penting kita permasalahkan ‘laser’ ini, karena...ngaku aja deh...kita nggak tahu persis siapa yang ngarahin laser itu kan? Pelakunya nggak pernah ketangkep. Bisa aja yang ngarahin laser ke muka Markus itu orang Indonesia yang iseng nunjuk-nunjuk gitu. Bisa aja yang ngarahin laser ke keeper Malaysia ternyata supporter Malaysia juga. Jadi selama ini antar supporter Malaysia-Indonesia berantem nggak jelas dengan asumsi: pelaku laser ini pasti berniat buat membuyarkan konsentrasi, karena itu pelakunya pasti dari negara lawan! Berantem dan saling dendam gara-gara asumsi KOSONG.

Kenapa saya jadi emosi ya. Sudah, soal laser ini nggak usah diperpanjang lagi. Titik.



*tarik napas panjang*



Meskipun memicu konflik antar supporter Indo-Malaysia, di sisi lain final AFF 2010 ini efeknya bagus banget buat kita, warga Indonesia. Seperti yang saya bilang di awal, kemenangan demi kemenangan yang Garuda raih meningkatkan kecintaan warga Indo kepada Garuda, dan secara nggak sadar mempersatukan kita. Solidaritas sebagai warga negara sebangsa setanah air semakin ada. Rasa kebersamaan semakin tinggi. Tapi, semoga kebersamaan ini bukan efek euforia saja, yang sifatnya musiman, dan luntur ketika event ini selesai. Semoga rasa saling memiliki ini bertahan, atau malah berkembang. Semoga saja.








Warga yang cenderung apatis, berusaha kritis, sambil berharap.

Wednesday, December 22, 2010

so much to do, so little time...

Aduh udah lama banget ya saya nggak nulis


udah sekitarrr *ngecek postingan sebelumnya* err hampir 3 minggu ya. gila juga. padahal saya pikir liburan ini bakal banyak nulis gitu. ternyata banyak 'gangguan' sana-sini.


Ini mungkin telat banget (lagi-lagi...) tapi saya mau share tentang rencana liburan saya.
Ya, mestinya ini ditulis pas awal liburan tapi karena saya hiper males (ya gusti...) jadi baru saya tulis pas pertengahan liburan.


Jadi gini, sebelum UAS saya udah ngayal-ngayal..
'liburan ini mau ngapain aja ya... mau ini mau itu...'
'banyak juga ya... jadi nggak sabar liburan...'
'entar tulis di blog ah...'
Sampe minggu ke-2 liburan ini sih ada beberapa yang udah terlaksana, ada rencana tambahan, dan ada yang kandas di tengah jalan.


Coba kita listing.




1. Belajar Masak
Nggak tau saya konservatif atau apa ya, tapi rasanya semacem 'wajib' buat mereka yang merasa dirinya perempuan untuk bisa masak, biar bisa jadi istri yang baik (caelah...)
Saya kagum liat emak-emak termasuk emak saya bisa-bisanya masak nggak pake resep tapi takerannya bisa pas dan rasanya maknyos. Saya pengen kayak gitu.


Masalahnya, terakhir kali saya bener-bener masak (ya, bukan sekedar rebus indomie) itu jaman SMP. Dulu pas SMP ada pelajaran tata boga seminggu sekali. Untung banget ada pelajaran ini, kalau nggak mungkin saya bener-bener bisanya cuma rebus indomie.


Walaupun sering ngeluh juga gara-gara males belajarin teori masak, beli-beli bahan, repot bawa-bawa bahan ke sekolah, bikin Working Paper, nyatanya pas tau di SMA nggak bakal ada tata boga... saya sedikit sedih juga.


Kok jadi nostalgia ya.


Terus dalam rangka belajar masak ini, sebelum liburan ini saya bareng temen-temen gencar nyari buku masak di perpustakaan dan nyatet-nyatetin resep.


Sekarang, catetan resepnya nggak tau ilang kemana *gubrak*
....
....
Untungnya temen-temen saya ngadain acara masak bareng. Jadi mau nggak mau saya cari resep lagi di internet, majalah juga. Dan inilah hasilnya








kenalin, Kentang Panggang Bolognaisee! wohoooo


Saya sukses, rasanya nggak aneh :D
Saya bertekad buat lebih sering-sering masak dan ngasah bakat terpendam (?) saya.


I'm gonna make a good wife!




2. Belajar buat SIMAK UI




Rencananya saya pengen ambil jurnalistik di UI.
Agak kesel sih pas tau sekolah saya nggak termasuk dari salah satu sekolah yang ditawarin buat PMDK UI (jalur bebas tes), jadi saya harus ambil jalur SIMAK UI (Seleksi Masuk Univ. Indonesia), alias ujian tertulis.


Belakangan, saya agak panik karena saya nggak ikut dan nggak pernah tahu-menahu tentang keberadaan BTA (ealah kemana aja gue...). BTA ini semacem bimbel beken buat persiapan SIMAK UI, dan kesannya semacem wajib hukumnya ngambil BTA ini kalau mau tembus SIMAK UI. BTA ini udah mulai dari Agustus atau September, tapi saya taunya baru akhir bulan Oktober. Udah telat banget.


Saya tambah panik lagi pas dapet soal SIMAK UI tahun lalu dari kakak kelas saya.
Terus saya coba kerjain.


Soal: Yang termasuk daerah persebaran kapak pendek di Asia Tenggara adalah...
Saya: Hah emang pernah belajar ginian ya?


Soal: Pada politik 'Air Hangat', pelabuhan era kekaisaran Rusia yang terbebas dari es dalam musim dingin adalah...
Saya: Emang ada?


Soal: Salah satu faktor yang mempengaruhi bangkitnya nasionalisme di Hindia Belanda adalah...
Saya: ???!


Meennnnnnnnn susah bangetttt. Nggak ada yang bisa saya jawab.
Bahkan saya nggak ngerasa pernah belajar yang kayak gitu.


Saya pun mulai nanya orang-orang, cari penghiburan.


"Emang ngaruh banget ya ambil BTA?" (ngarep jawabannya 'nggak kok')

"Emang penting, apa?"

"Emang kalau nggak ikut itu nggak bisa lolos SIMAK UI, HAH?!"


Makin lama nanyanya makin nyolot.
Ternyata jawabannya variasi juga. Ada yang bilang iya ngebantu banget. Ada yang bilang nggak perlu juga.


Ya sudahlah. Mau ikut BTA juga udah nggak mungkin.
Saya akhirnya mutusin buat nyicil abis-abisan selama liburan ini. Saya udah beli buku-buku rangkuman materi, buku kumpulan soal, buku simulasi soal segala. Bener-bener on fire.


Nyatanya, sampe detik ini belum ada yang saya sentuh. *gubrak kuadrat*


Paling parahnya lagi, SIMAK UI tahun 2011 bakal DITIADAKAN. Entah apa alesannya.
Dunia serasa runtuh.
Satu-satunya harapan cuma lewat SNMPTN, yang katanya lebih berat persaingannya.
Nasib saya pun terkatung-katung.






3. Permak Blog
Tampilan blog saya ini termasuk standard, cuma milih dari template yang udah ada dan backgroundnya saya ganti. Buat yang bertanya-tanya, background itu gambar 'commonplace book' saya. Buku tempat saya nulis ide-ide spontan dan inspirasi.


Nah saya berniat ngedekor ulang tampilan blog saya biar lebih personal dan nggak kaku gitu, dengan modal sedikit tau-tau Photoshop dan Dreamweaver.


Tapi lagi-lagi belum terlaksana (ya kalian bisa liat sendiri)
karena lagi, lagi, dan lagi.... MALES.




4. Ikut Lomba Design Logo JFFF

Yak bisa diliat betapa menggiurkannya hadiah lomba ini: Apple MacBook Pro + Rp 10juta. MacBook Pro sekitar 15-17 juta, jadi ya.... bisa dikira-kira total hadiahnya dan itu WAH. SEDAP.
Sebenernya saya nggak bakal tau tentang lomba ini kalau nggak dikasih tau temen saya, Pishi. Saya berterimakasih banget, apalagi kalau sampai menang. Dia jadi orang pertama yang saya traktir.

Event ini diadakan oleh Mal Kelapa Gading dan Jakarta Fashion & Food Festival. Intinya, peserta diminta men-design logo buat ngegantiin logo JFFF yang sekarang:

Hal yang bikin susah adalah lomba ini terbuka buat umum, selebar-lebarnya, nggak ada range umur, dan nggak dipungut biaya pendaftaran. Jadi bisa dibayangin berapa banyak saingan yang harus saya tumbangkan buat ngedapetin hadiah yang menggiurkan itu. Belum lagi di antara mereka pasti ada banyak designer yang bermodalkan lebih banyak pengalaman dan keahlian dalam membuat logo dibanding saya.

Saya ya...modal nekat aja.

Ikut-ikut aja, menang ya sukur, nggak juga nggak masalah.
Seperti biasa, pas sebelum liburan sih saya udah on fire, ngerencanain bakal bikin 3 rancangan logo (karena setiap orang boleh ngirim maksimal 3) dan sok-sok pengin bikin logo yang ada gambar tersembunyi lah, konsep gila-gilaan lah, bla bla bla.

Nyatanya, saya baru bener-bener ngerjain ini logo 3 hari sebelum deadline. Saya memang hampir selalu nyerempet deadline kalau ngerjain segala sesuatu, dan saya perfeksionis. Kombinasi yang buruk. Alhasil, 2 hari berturut-turut saya begadang, tidur jam 6 pagi. Pas bangun berasa kayak zombie.

Tanggal 20 Desember 2010 kemarin, alias batas akhir penerimaan karya, saya pergi ngeprint rancangan-rancangan saya di tempat digital printing, karena setiap rancangan harus diprint di kertas A3. Total-total abis Rp 150ribu. Bebas biaya pendaftaran sih... tapi ujung-ujungnya duit juga. Habis itu saya langsung ngacir ke Center Management Office-nya MKG buat ngumpulin karya.

Abis ngumpulin, rasanya lega luar biasa. Rasanya saya udah nggak peduli kelanjutannya, mau saya lolos ke final atau nggak, dapetin MacBook Pro atau nggak, atau malah keburu kandas di seleksi awal. Karena ada beberapa titik di mana saya berpikir buat nyerah aja, nggak usah ikut lomba ini, karena saya simply males, bener-bener kering inspirasi, emosi dalam proses ngutak-ngatik di photoshop, cape hati, dan frustasi karena prosedurnya yang ribet.
Tapi saya nggak berhenti, dan pada akhirnya sukses nyelesaiin dan ngumpulin karya itu.
Untuk itu, saya bangga pada diri saya sendiri

dan berterimakasih juga buat si pacar yang udah nampung uneg-uneg dan omelan saya sepanjang bikin logo ini, rajin kasih semangat, dan bantuin saya scan KTP :p



5. Nonton 'Working Girls' dan 'Conspiracy of Silence'


Nah yang ini rencana dadakan. Saya berniat nonton pemutaran film dokumenter 'Working Girls' dan 'Conspiracy of Silence' di Teater Salihara, Pasar Minggu, tanggal 22 Desember 2010 alias hari ini.

Saya tau tentang pemutaran film ini dari Twitter, gara-gara liat tweetnya @jokoanwar dan @tigerlilybubu. Saya penasaran dan iseng googling aja. Sinopsisnya menarik juga, tentang kesetaraan perempuan dan keadilan. Kayaknya ini film berkualitas ala Laskar Pelangi gitu. Terlebih lagi, tiketnya GRATIS. Tunggu apalagi.

Masalahnya tempat pemutarannya itu...jauh. Teater Salihara itu di Jakarta Selatan, saya di Jakarta Utara.
Tadinya saya mau pergi bareng pacar, tapi dia mendadak harus ke luar kota. Kayak bini ditinggal laki dinas deh gue.
Terus kalau mau naik taxi...mahal. Naik busway...berhubung pemutaran filmnya jam 6 sore, berarti saya harus berangkat sekitar jam 4 atau jam 5. Which is bertepatan sama jam orang pulang kerja. Which means terminal busway, apalagi yang di Harmoni, itu pasti rame dan sumpek banget. Bisa bau ketek pas keluar dari terminal Harmoni.

Entahlah gimana cara saya ke sananya... yang pasti saya nggak rela kalau sampai nggak jadi nonton ini.
Mudah-mudahan nggak sampe batal!




6. Belajar Latin

Saya seneng belajar bahasa. Nggak ada alesan khusus, suka aja. Salah satu bahasa yang saya pengin kuasain adalah Latin.

Pertama kali saya kenal bahasa latin (nggak, belajar nama-nama latin di pelajaran biologi nggak dihitung) itu pas saya baca A Series Of Unfortunate Events: Austere Academy yang ditulis Lemony Snicket. Di situ ada frasa dalam bahasa latin: Memento Mori. Kalau diterjemahin, artinya kurang lebih 'remember that you are mortal' atau 'remember that you will die'. Ini menarik. Kalimat simpel, tapi interpretasinya bisa dalem. Berapa banyak orang yang mau diingetin kalau mereka bakal mati? Dan ini seolah-olah memukul mereka yang mengejar hal-hal yang fana.

Mulailah saya browsing tentang frasa-frasa lain dalam bahasa latin, terus nemu ini 'List of Latin Phrases'
di Wikipedia. Banyak banget yang menarik dan jumlahnya banyak banget. Saya pernah bertekad buat hapalin daftar itu tapi setelah dipikir-pikir gila juga. Peribahasa Indonesia aja nggak hapal.


Saya makin tergila-gila sama latin pas denger Scarlett Johansson ngomong latin di Ironman 2. Ya ampun kesannya intelek banget gitu. Lebih tergila-gila lagi pas nonton Angels & Demons-nya Dan Brown, di mana settingnya Vatikan, Italia dan hampir semua orang ngomong latin.
Alesan lain saya cinta mati sama film Angels & Demons selain gara-gara plotnya, ya gara-gara bahasa latinnya itu.


 Oh ya, saya suka banget karakter Vittoria Vetra di Angels & Demons ini.


 Bener-bener mengesankan cewek cantik dan intelek amat sangat. Apalagi pas dia terjemahin buku Galileo "Diagramma Veritas" yang isinya bahasa latin.


Balik ke topik, saya tergila-gila sama latin. Saya pikir untuk bisa lebih gampang hapalin frasa-frasa dari 'List of Latin Phrases' tadi, saya harus belajar bahasa latinnya dulu. Toh latin itu juga akar banyak bahasa, jadi bakal bikin saya lebih gampang pelajarin bahasa lain.


Saya browsing lagi, lalu saya ketemu website ini: The National Archives
Di situ ada tutorial buat belajar dasar-dasar bahasa latin, yang kebagi jadi 12 bab atau lesson. Setelah itu, bisa dilanjutin dengan baca arsip kuno Inggris yang kebanyakan pakai bahasa latin. Saya seneng banget dan langsung ngerjain tutorialnya.


Ternyata belajar latin itu sama sekali nggak gampang. Susah banget malah. Grammarnya bener-bener ribet dan banyak hapalan. Sampai Lesson 2, saya masih lancar-lancar aja. Lesson 2 ke atas, saya mulai gelagapan. Akhirnya saya berhenti di Lesson 5. Niatnya waktu itu istirahat beberapa hari, terus lanjut lagi.
Eh, istirahatnya keterusan sampai sekarang.


Nah di liburan ini, niatnya saya ngelanjutin pelajaran yang tertunda itu. Mudah-mudahan saya sukses nyelesaiin 12 bab sebelum liburan selesai.




7. Selesaiin Baca Buku
Buku? Buku apa?


Saya ada beberapa buku yang ngantri untuk dibaca:




Rich Dad, Poor Dad - Robert T. Kiyosaki
Buku ini saya pinjem dari si pacar, tentang mengatur arus finansial kita dan investasi. Bagus deh. Bener-bener mendorong dan memotivasi banget buat jadi wirausaha, dan bikin kita lebih hati-hati ngatur pengeluaran pemasukan. Penjabarannya juga sama sekali nggak ngebosenin, karena penulis lebih semacem bercerita gitu.


Buku ini saya langsung baca setengahnya dalam waktu 1 hari... tapi sampai sekarang belum saya lanjutin lagi.






LaylaMajnun - Nizami
Buku ini terjemahan dari syairnya sufi Persia, Nezami Genjavi. Isinya tentang kisah tragis sepasang kekasih yang saling mencintai sehidup semati, tapi banyak yang menghalangi. Iya, mirip Romeo and Juliet gitu. Malah katanya buku ini yang menginspirasi Romeo and Juliet, karena udah ada jauh sebelum Shakespeare nulis karyanya itu.


Saya pertama kali tau tentang buku ini dari A Thousand Splendid Suns-nya Khaled Hosseini. Katanya, Layla dan Majnun ini Romeo dan Juliet versi Persia.


Lalu saya dapet dari buku ini dari Khrisna Pabichara di FBS Salemba UI


"Siapa yang mau hadiah?"


"Sayaaaaaaaaa"  *tunjuk tangan*


Saya ditunjuk, terus dikasih deh. Iya, sesimpel itu. Nggak jawab pertanyaan atau apa. Pas nerima buku ini saya seneng banget. Saya nggak nyangka bakal bisa baca Layla Majnun langsung, dan nggak tau ternyata buku ini ada terjemahan versi Indonesianya.


Buku ini juga belum habis saya baca, baru setengahnya. Buku ini cantik, pembahasaannya indaaaaaaah banget, ditambah lagi alur yang tragis. Nizami pake metafor-metafor yang bener-bener bagus dan ngena. Setiap kalimatnya syair. Saya nggak abis pikir ya gimana caranya dia merangkai kalimat syair pake perumpamaan yang nggak berulang gitu. Saya disuruh bikin puisi satu bait aja rasanya susah.


Apa yang bisa mereka lakukan untuk memupus bunga cinta yang mulai merekah?
Seorang malaikat datang dan mengisi cangkir mereka dengan anggur yang meluap keluar.
Dan mereka pun mereguknya.
Mereka masih kanak-kanak dan tidak menyadari apa yang telah mereka teguk.
Tidaklah mengherankan bila mereka menjadi mabuk.
Orang yang baru mabuk sekali, tentu saja akan mabuk teramat khusyuk.
Dan orang yang belum pernah terjatuh, sekali jatuh tentu saja akan mengaduh-aduh.

Ini versi terjemahan aja segitu bagusnya. Biasanya, terjemahan bikin estetika ceritanya berkurang. Nggak kebayang aslinya sebagus apa. Sayang saya nggak bisa bahasa Persia.




The Name of The Rose - Umberto Eco
Saya tertarik beli buku ini udah lama banget, mungkin 2-3 tahun lalu ya, gara-gara liat covernya dan kertasnya. Err... punya saya covernya nggak kayak gini sih, ini ngambil dari google. Kertasnya coklat-coklat, kesannya kuno, dan baunya kayak kayu tua gitu. Alesan macam apa itu ya... Tapi saya baca sinopsisnya menarik juga, tentang pembunuhan tujuh biarawan di suatu biara.

Pas saya baca, saya cuma sanggup mencerna sekitar 5 halaman pertama. Bahasanya berat banget. Jaman dulu kayaknya pembendaharaan kata saya payah. Entah sekarang saya udah sanggup baca atau belum.







Lolita - Vladimir Nabokov
Mungkin udah bisa ditebak dari covernya ya, cerita buku ini tentang pria paruh baya yang terobsesi dan terlibat secara seksual dengan gadis umur 12 tahun. Buku ini lumayan terkenal, dan jadi asal-usul istilah 'Lolita' buat mereka yang pedofil atau tertarik secara seksual sama anak di bawah umur.
Saya bayangin sih intriknya semestinya menarik, jadi saya beli. Saya lupa kenapa, tapi saya baru sempet baca sedikit buku ini.





Pride and Prejudice - Jane Austen
Great Expectations - Charles Dickens
Oliver Twist - Charles Dickens
The Little PrinceAntoine de Saint-Exupéry
Beberapa waktu lalu saya ke toko buku TIMES di karawaci bareng si pacar. TIMES ini khusus jual buku-buku import. Tempatnya sih comfy banget. Saya girang bukan main pas ke sana, karena surga saya ada di antara buku-buku. Saya iseng liat-liat buku klasik macem Shakespeare, Dickens. Saya liat harganya, dan syok. Cuma Rp 30.000,- perak. Kalau sekarang novel lokal aja nggak dapet kali harga segitu, apalagi buku impor yang biasanya 100ribu ke atas. Ternyata ada seri penerbit Wordsworth Classic yang sengaja nerbitin buku-buku klasik ini dengan harga murah. Tunggu apalagi, langsung borongan lah saya.


Dari keempat buku ini yang udah selesai saya baca cuma The Little Prince. Rencananya saya mau bikin reviewnya di postingan berikutnya. Kemarin-marin saya mulai baca Oliver Twist, dan... buat baca halaman pertama aja saya butuh buka kamus sekitar 15 kali. Mana bahasanya masih bahasa Inggris lama dan banyak slangnya.


Kayaknya bakal agak lama sebelum saya balik ke TIMES buat belanja lagi ;p








*      *     *




Kira-kira itu planning saya buat liburan ini.


Semoga sisa liburan 2 minggu ke depan nggak sia-sia :D







Thursday, December 2, 2010

this IPA-IPS thingy...

Hai ini saya, ngepost lagi. Rajin kan?
Dibilangin, saya mau ngejar setoran.


Ada kejadian di sekolah beberapa hari lalu. Teman saya nggak sengaja denger obrolan anak kelas X pas dia lagi ada di dalam salah satu bilik WC.

Dia balik ke kelas dalam keadaan sewot, terus langsung nyamperin saya dan teman-teman saya yang lain, ngadu.

"Eh, eh, tau nggak...," dia mulai dengan tagline khas gosip, "si A en temen-temennya nyebelin banget..."

"Ha kenapa?"

"Tadi gue kan lagi di WC, terus gue kedengeran mereka ngomong apa..."

"Emang mereka ngomong apaan?"

"Mereka ngomongin gitu... ngata-ngatain anak IPS.
katanya, anak-anak IPS itu bego semua..."

Hening.

"...yang juara-juara di IPS juga sama aja, bego juga. Gitu, mereka bilang..."

Mengheningkan cipta.

Untuk sesaat.

Sesaat berikutnya, berondongan pembelaan terlontar.


*   *   *


Sakit hati? Nggak. Eh...dikit sih ada. Bohong kalau bilang nggak. Tapi nggak sampai kesel, benci, apalagi mendendam.

Malahan, saya malah cenderung kasian, dan geli.
Lebih ke arah geli sih sebenarnya.

Masih ada ya, orang yang pikirannya sekolot itu?
Terus saya bingung, kok bisa ya sejak awal ada muncul stigma semacam itu?
Bahwa anak IPA lebih pintar dari anak IPS?
Bahwa anak-anak IPS itu terkesan 'buangan'?

IPA dan IPS ini bagi saya cuma sekedar peminatan, dan nggak ada hubungannya sama kepintaran. Sudah jelaslah dari judulnya: Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Alam dan Sosial. Ini cuma masalah pembagian bidang saja. Lalu sejak kapan dan mengapa bidang eksakta dikategorikan 'lebih sulit'?

Emangnya kalian pikir nggak butuh logika buat merancang penelitian sosial?
Emangnya kalian pikir ngerancang penelitian sosial itu susahnya nggak sebanding sama kalian bikin laporan laboratorium?!
Emangnya mempelajari natur dan sifat manusia itu jauh lebih gampang dari mempelajari organ tubuh mereka?!
Emangnya......?!

Duh, jadi curhat.

Ehem.

Lalu ada lagi stigma:
anak IPA identik dengan 'hitungan', anak IPS dengan 'hafalan'
Saya nggak mempermasalahkan stigma itu, sih

Tapi ada yang aneh.
Kalau anak kelas X mau milih penjurusan IPS, karena dia emang minatnya masuk IPS dan kebetulan nilai IPAnya nggak terlalu bagus, nanti pasti muncul omongan,
"Oooo dia nggak sanggup masuk IPA, hitungannya bego."

Sedangkan, kalau ada anak yang milih penjurusan IPA, karena dia emang minatnya masuk IPA dan kebetulan nilai IPSnya kurang bagus, nggak ada tuh yang notice nilai IPS dia yang jelek itu.
Nggak ada tuh yang ngomong, "Oooh dia nggak sanggup masuk IPS, wajar aja pilih IPA."

Eh nggak ya, saya bukannya ngiri! Tapi aneh aja nggak sih? Dari situ aja udah keliatan betapa nggak seimbangnya pandangan orang tentang dua jurusan itu.

Terus, yang paling anehnya lagi...
Anak yang milih penjurusan IPS karena emang minatnya IPS, tapi nilai IPAnya juga bagus, bakal 'dipaksa' masuk IPA.

"Kamu mestinya bersyukur, jangan sia-siain... Sayang loh, temen-temen kamu banyak yg mau masuk IPA tapi nggak cukup nilainya."

Eh ya apa hubungannya? Namanya juga peminatan... Kalau anak itu emang nggak berminat, masa mau dipaksa?

Saya nggak tau sih kalau di sekolah lain. Tapi itulah yang saya lihat di sekolah saya, mereka 'dihasut' untuk masuk IPA.

Maaf terlalu banyak kalimat tanya di postingan kali ini... tapi saya dalam hal ini sedang bingung, benar-benar bingung. Asal muasal munculnya cap untuk IPA-IPS ini darimana? Masalahnya, nggak ada orang yang benar-benar menjalani kedua-duanya (IPA dan IPS) sehingga cukup objektif untuk membandingkan. Kalau bisa, saya mau deh. Tapi masalahnya waktu naik ke kelas XI, disuruh milih, sih...

Sekian jeritan kebingungan saya.
Tidak bermaksud mengkritik,
apalagi sok-sok mendidik,
sukur-sukur bisa menggelitik.